Senin, 08 Agustus 2016

Kompetesi Menulis Cerpen #MyCupOfStory "E'mily's Coffe"

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com


Emily’s Coffe



Sumber Gambar : www.shutterstock.com 


Setiap masalah pasti ada solusinya. Memikirkan jalan terbaik dari penyelesaianya adalah tugas setiap orang. Aku melakukanya dengan hati yang tentram. Pikiran yang tenang. Dan secangkir kopi yang nikmatnya tiada tara. Kopi dengan air panas membuatku tergila-gila, karena aromanya lebih bisa kunikmati dari uap yang menguar di permukaanya. Kopi dengan campuran es batu adalah favoritku, karena ia adalah tetes hujan yang membasahi kerongkongan, bahkan nikmat kelegitanya masih tertinggal di sela-sela mulut. Tak dipungkiri, aku telah menjatuhkan pilihan minuman terbaikku pada kopi. Apapun itu racikanya mau kopi tubruk, cappuccino, Espresso, Frappe dan lain-lain semuanya tak pernah bosan untuk kucicipi. Karena setiap jengkal lidahku selalu menikmati keindahan rasanya.

“Eh Mil, nanti sore, loe mau ikut ke kedai kopi itu lagi gak?” suara Soraya menghentikan aktifitasku saat bercengkrama  dengan minuman favoritku ini. Ya aku tengah menikmati frappuccino di siang hari  yang panas , sambil mengedit naskah milik Anthony. Tatapanku yang semula fokus pada layar laptop, teralihkan dengan pandangan Soraya pada gelas frappe ku yang berembun. Terlihat ia meneguk ludahnya saat melihat aliran sedotan yang mengalir perlahan menuju mulutku.

“Boleh aja” ucapku singkat sambil segera menyembunyikan minumanku di belakang. Diam-diam aku tersenyum jahat melihat ia menyeringai akan tingkahku barusan.

“Yaelah, pelit banget loe Mil, minta dikit dong, haus nih.” ujarnya hampir saja mencapai gelas di belakangku. Secepat kilat kutahan tanganya, dan kami mulai beradu pandang dengan tajamnya. Soraya memicingkan matanya, sejurus kemudian ia berusaha membuatku terkecoh dengan gerakan tanganya yang seolah ingin menjatuhkan kekasihku si frappe ke lantai. Aku yang tak ingin gelas itu jatuh segera melepas cengkraman, dan berhasillah ia meluruskan niatnya untuk mencuri frappuccinoku. Oh lihatlah ia menyedot terlalu banyak, hingga kulihat isi dari gelasnya  yang sudah berkurang setengah. Menikmati kopi seharusnya dilakukan sedikit demi sedikit, agar sensasinya terasa luar biasa. Mungkin kalian pikir aku lebay. Tapi itulah satu-satunya penyembuhku di kala stress. Stress karena mengedit naskah novel
“Perempuan di ujung kota” milik Anthony yang mulai gak kelar-kelar. Dan aku yang juga ingin terjun sebagai penulis, tapi masih belum punya nyali. Satu lagi masalah adikku yang ingin menikahi kekasihnya tapi hingga kini aku masih mengusahakan biayanya. Padahal  kakaknya ini belum pernah merasakan aktivitas dari mencintai dan dicintai. Baiklah pikiranku  mungkin agak konslet karena kelamaan jones.

“Teganya kamu berselingkuh dengan pacarku frappe, huhuhuhu” ujarku dengan pura-pura menangis.

“Ya ampun, gue baru tahu kalo Emily udah gak suka cowok lagi dan memulai hubunganya dengan segelas kopi.” ejek Soraya sambil tertawa kegirangan melihatku yang sukses cemberut dengan candaanya barusan. Apa maksudnya aku gak suka cowok, memangnya aku udah gak normal. Tanpa rasa berdosa ia menyeruput lagi frappuccinoku, tinggal seperempat gelas.

“Sudah cukup, jangan lakukan perselingkuhan ini di depanku lagi.” balasku bangkit hendak meraih tangan Soraya, namun sebuah lengan milik orang lain yang tampak familiar menahannya. Pandanganku langsung teralihkan pada mata coklat yang tepat berada di depanku. Sang empunya tetap menatapku intens, hingga kemudian tanganya mendarat di wajahku, mengusap sesuatu yang ada di atas mulut.

“Kalo minum itu yang cantik dikit dong, kumis kamu tuh belepotan kena krim.” Ucapnya cuek. Aku minum kopi sama sedotan kok, mana mungkin krimnya sampai ke mulut segala. Sebelum aku sempat mengelak ia mengalihkan pandanganya pada Soraya. Baiklah, untuk sejenak cowok bernama Anthony ini memang selalu membuatku baper. Dengan tingkahnya yang kadang selembut kapas dan tiba-tiba berubah jadi segarang macan. Oleh karena itu di dekatnya jantungku jadi sering deg deg an. Entah karena jengkel melihat dia yang  terkadang kejam menyiksaku dengan kata-katanya. Atau memang ada sesuatu yang lain?

“Kopi lagi?” Ia menoleh padaku seolah butuh jawaban.

“Iya nih, semenjak kita pergi ke kedai kopi di seberang jalan itu, Si Emily jadi tergila-gila sama kopi, kayaknya dia lagi kecantol tuh sama cowok barista ganteng yang minjemin aku payung kemarin,  Oh andai aja gue masih belum ketemu Roby, mungkin gue gebet juga tuh cowok hahahahaha.” Dasar nenek sihir ucapku dalam hati, bukanya aku sudah mencintai kopi dari dulu bahkan sebelum mengenal dia. Dan lagi-lagi tanpa menggubris omongan Soraya, Anthony malah menatapku semakin dalam. Memangnya ada apa? Butuh jawaban lagi?  Aku hanya mengernyitkan dahi dan memutar bola mata, kembali fokus pada naskah yang kuedit.

“Apanya yang mau digebet” terdengar suara horor Roby yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Soraya. Gadis itu kelihatan gelagapan dengan mata terbelalak kaget melihat kehadiran Roby. Aku yang menikmati adegan itu, tak bisa menyembunyikan gelak tawa.

“Udahan yuk bercandanya, gak pada bosen apa di kantor terus, ini udah jam pulang, kita kumpul ke kedai kopi dulu aja, aku yang traktir.” sanggah Anthony meredam suasana. Eh tunggu, mendengar kata “traktir” telingaku sudah berada pada posisi awas dan mulutku bergerak siaga untuk bilang.

“Aku ikut!” ucapku bersemangat.

“Eh bukanya, loe sendiri yang bilang mau lembur.” cegah Soraya dengan cepat, tatapan sinis langung kulayangkan tepat di matanya, dengan isyarat  rahasia aku bilang padanya “Kata Siapa”, ia bergidik ngeri melihat tingkahku. Aku menghela nafas panjang dan memandang Anthony yang ternyata lebih dulu menatapku.

“Capeklah aku edit naskah terus, sekali-kali yang punya novel sediain aku kopi gratis buat penyemangat, hehe” ucapku sambil bersandar di bahunya dan menggerakkan alisku turun naik. Tapi alih-alih merespon, ia malah mengacuhkanku dan meninggalkan ruangan lebih dulu. Apaan itu tadi? Tuh kan, sudah kubilang Anthony itu sikapnya lebih garang dari macan.

“Sabar ya, sebenarnya diam-diam Anthony itu perhatian loh sama loe, Mil” ujar Roby menepuk pundakku sambil mengacungkan jempol. Aku memang sudah lama jadi editornya Anthony, jadi orang-orang menganggap kita lebih dari teman. Padahal nggak ada hubungan apapun di antara kita, sahabat aja nggak apalagi pacar. Kelihatanya dia cuma menganggapku sebatas rekan kerja saja. Nasib... nasib... Eh memangnya aku ngarep banget ya sama dia.
***

“Emangnya ada acara apaan nih, loe nyuruh kita kumpul di sini.” ucap Roby membuka awal pembicaraan.

“Kemarin paman gue yang punya perkebunan kopi di Toraja, minta tolong gue buat ngurus beberapa urusan di sana. Nah sekalian liburan kantor, emangnya kalian nggak mau wisata ke Toraja.” Aku hampir saja menyemburkan isi mulut penuh espresso ke wajah Soraya, jika saja aku tak bersusah payah menelanya. Wisata ke Toraja? Ini baru yang namanya amazing! . Dari dulu aku pingin banget menikmati kopi Toraja. Aku ingin menikmatinya langsung di tempat dimana kopi ini dilahirkan.

“Mau mau!” ucapku dengan ambisius.

“Iya, iya gue juga mikir lo pasti antusias banget pingin ke Toraja. Itung-itung bisa jadi bahan riset buat tulisan loe juga kan? Katanya mau nulis, pertama-tama angkat aja sesuatu yang sudah menjadi favorit loe dari dulu yaitu kopi. Itu cenderung akan mempermudah loe dalam pengerjaanya.Jangan terlalu mikirin edit lah, bentar lagi itu udah kelar koq, loe cuman lagi galau sama pernikahan adik loe kan? Makanya gak selesai-selesai” Mataku berbinar-binar mendengar penjelasan Anthony. Sekarang dalam pandanganku ada efek berkas-berkas sinar di sekeliling tubuh Anthony.

“Cieee cieee ternyata Anthony perhatian banget sama Emilly”

“Gue juga bilang apa Anthony itu diam – diam merhatiin Emily.” Dua sejoli itu masih sibuk memperdebatkan perasaan Anthony terhadapku. Tapi aku sudah tak sabar ingin segera pergi kee Toraja. Toraja I’m coming.

“Apaan sih lo berdua, berisik aja!” Dari sudut mataku dapat kulihat rona merah di muka Anthony. Apa mungkin macan galak ini bisa malu juga?
***

“Yeeee kita sampai di Torajaaaaa!” teriakku lantang, saking senangnya melihat Tanah Toraja.

“Eh, jangan teriak-teriak malu dilihat orang” bisik Anthony tepat di telingaku. Benar juga ini masih di jalan raya dan aku berteriak seperti orang gila. Beberapa orang bahkan sudah melayangkan tatapan heranya padaku, bisa-bisa mereka semua akan menangkapku.

Kami dijemput oleh mobil pick up milik paman Anthony, karena jaraknya juga sudah lumayan dekat. Semilir angin membelai bebas rambut ikalku yang sengaja kukuncir ekor kedua. Menikmati pemandangan desa yang sangat asri, memanjakan mata kecilku yang memang merindukan pedesaan. Hidungku juga menikmati oksigen segar yang memenuhi alam asri ini. Jika begini ceritanya aku akan bersemangat sampai akhir wisata nanti. Namun sepertinya semangatku tak menulari Soraya yang dari tadi hanya bergelayut manja di lengan Roby karena perutnya terasa mual. Ia memang baru kali ini melakukan perjalanan sejauh ini. Sedangkan aku pernah sekali pergi ke Pontianak bersama Anthony. Tentunya masih sebatas urusan pekerjaan.

Selama perjalanan menembus perkebunan kopi. Paman Anthony banyak melakukan penjelasan mengenai jenis dan kelebihan dari kopi Toraja. Aku tanpa jenuh dengan seksama mendengarkan semua poin penting yang disampaikan, dan tanpa ragu bertanya.

“Eh, udah puas belum sama penjelasan paman gue.” Ujar Anthony menyapaku yang tengah melamun di pinggir kebun, duduk di sebuah kursi yang ternaungi pohon besar yang rimbun. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaanya. Namun mataku dengan sigap melihat tanganya yang menenteng dua gelas kopi hitam. Uapnya seakan menjelma seperti tangan yang melambai-lambai padaku. Anthony yang mengerti keinginanku segera menyodorkan satu gelas di tangan kananya . Tanpa basa-basi, aku segera menerimanya dengan hati hati, meyeruputnya pelan-pelan dan menghirup aroma magisnya. Wow... ini minuman paling istimewa yang pernah kucicipi.

“Apa sih arti kopi dalam hidup kamu?” ucap Anthony sejurus kemudian.  Aku yang sedari tadi asyik menikmati udara sore itu, memandang wajah Anthony. Entah mengapa aku melihat kedamaian di sana yang sejenak membuatku tenang.

“Apa ya? Bagi orang dia itu mungkin cuma minuman, tapi bagi aku ia seperti obat alami yang membuat suasana hatiku kembali tenang. Saat meminumnya, secara tidak sadar semua saraf-sarafmu yang tegang akan rilex sejenak. Seolah menyelesaikan sebuah keinginan yang belum terpuaskan. Terasa sangat lega setelah meminumnya” ucapku sambil menyeruput lagi  kopi di tangan, dan menghembuskan nafas panjang, mempraktekkan hal yang barusan kujelaskan pada Anthony

“Oh ya? Kamu gak takut sakit maagh kebanyakan kopi.”

“Hei...hei meskipun dia salah satu favoritku, aku juga harus hati-hati dalam mengonsumsinya. Paling tidak aku bisa tetap menikmatinya dan tidak pernah dirugikan olehnya. Yah meskipun aku memang sedikit kecanduan, sih, hehehehe” Kami tertawa bersama-sama, tapi pada saat itu kami baru menyadari.

“Eh sejak kapan kita ngomongnya jadi aku-kamu an segala.” Ucapku dan Anthony beberengan membuat kami jadi malu sendiri dan tak berani melihat satu sama lain. Hanya beberapa detik kemudian Anthony tergelak.

“Kita kayak anak SMA aja ya. Padahal umur juga udah 25 tahun.”  Aku tersenyum membenarkan omonganya barusan.

“Kalau aku boleh tanya, kopi apa yang kamu suka untuk memulai hari di awal pagi yang cerah?”

“Emh, apa ya? Mungkin latte dengan art bertuliskan happy” ucapku asal untuk merespon pertanyaanya.

“Maka aku akan menjadi Latte itu untukmu. Emnjagamu agar tetap happy setiap saat” ujar Anthony seraya mengacak rambutku pelan dengan senyuman manisnya yang  mungkin setara dengan cappuccino buatan barista di kedai kopi langganan kami. Hanya saja ia lebih istimewa dan spesial, sehingga mampu membuat pipiku memanas menahan perasaan cinta yang terpendam layaknya kelegitan kopi favoritku.