Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Emily’s Coffe
Sumber Gambar : www.shutterstock.com
Setiap masalah pasti ada solusinya. Memikirkan jalan terbaik dari
penyelesaianya adalah tugas setiap orang. Aku melakukanya dengan hati yang
tentram. Pikiran yang tenang. Dan secangkir kopi yang nikmatnya tiada tara.
Kopi dengan air panas membuatku tergila-gila, karena aromanya lebih bisa
kunikmati dari uap yang menguar di permukaanya. Kopi dengan campuran es batu
adalah favoritku, karena ia adalah tetes hujan yang membasahi kerongkongan,
bahkan nikmat kelegitanya masih tertinggal di sela-sela mulut. Tak dipungkiri,
aku telah menjatuhkan pilihan minuman terbaikku pada kopi. Apapun itu racikanya
mau kopi tubruk, cappuccino, Espresso, Frappe dan lain-lain semuanya tak pernah
bosan untuk kucicipi. Karena setiap jengkal lidahku selalu menikmati keindahan
rasanya.
“Eh Mil, nanti sore, loe mau ikut ke kedai kopi itu lagi gak?”
suara Soraya menghentikan aktifitasku saat bercengkrama dengan minuman
favoritku ini. Ya aku tengah menikmati frappuccino di siang hari yang
panas , sambil mengedit naskah milik Anthony. Tatapanku yang semula fokus pada
layar laptop, teralihkan dengan pandangan Soraya pada gelas frappe ku yang
berembun. Terlihat ia meneguk ludahnya saat melihat aliran sedotan yang
mengalir perlahan menuju mulutku.
“Boleh aja” ucapku singkat sambil segera menyembunyikan minumanku
di belakang. Diam-diam aku tersenyum jahat melihat ia menyeringai akan
tingkahku barusan.
“Yaelah, pelit banget loe Mil, minta dikit dong, haus nih.” ujarnya
hampir saja mencapai gelas di belakangku. Secepat kilat kutahan tanganya, dan
kami mulai beradu pandang dengan tajamnya. Soraya memicingkan matanya, sejurus
kemudian ia berusaha membuatku terkecoh dengan gerakan tanganya yang seolah
ingin menjatuhkan kekasihku si frappe ke lantai. Aku yang tak ingin gelas itu
jatuh segera melepas cengkraman, dan berhasillah ia meluruskan niatnya untuk
mencuri frappuccinoku. Oh lihatlah ia menyedot terlalu banyak, hingga kulihat
isi dari gelasnya yang sudah berkurang setengah. Menikmati kopi
seharusnya dilakukan sedikit demi sedikit, agar sensasinya terasa luar biasa.
Mungkin kalian pikir aku lebay. Tapi itulah satu-satunya penyembuhku di kala
stress. Stress karena mengedit naskah novel
“Perempuan di ujung kota” milik Anthony yang mulai gak kelar-kelar.
Dan aku yang juga ingin terjun sebagai penulis, tapi masih belum punya nyali.
Satu lagi masalah adikku yang ingin menikahi kekasihnya tapi hingga kini aku
masih mengusahakan biayanya. Padahal kakaknya ini belum pernah merasakan
aktivitas dari mencintai dan dicintai. Baiklah pikiranku mungkin agak
konslet karena kelamaan jones.
“Teganya kamu berselingkuh dengan pacarku frappe, huhuhuhu” ujarku
dengan pura-pura menangis.
“Ya ampun, gue baru tahu kalo Emily udah gak suka cowok lagi dan
memulai hubunganya dengan segelas kopi.” ejek Soraya sambil tertawa kegirangan
melihatku yang sukses cemberut dengan candaanya barusan. Apa maksudnya aku gak
suka cowok, memangnya aku udah gak normal. Tanpa rasa berdosa ia menyeruput
lagi frappuccinoku, tinggal seperempat gelas.
“Sudah cukup, jangan lakukan perselingkuhan ini di depanku lagi.”
balasku bangkit hendak meraih tangan Soraya, namun sebuah lengan milik orang
lain yang tampak familiar menahannya. Pandanganku langsung teralihkan pada mata
coklat yang tepat berada di depanku. Sang empunya tetap menatapku intens,
hingga kemudian tanganya mendarat di wajahku, mengusap sesuatu yang ada di atas
mulut.
“Kalo minum itu yang cantik dikit dong, kumis kamu tuh belepotan
kena krim.” Ucapnya cuek. Aku minum kopi sama sedotan kok, mana mungkin krimnya
sampai ke mulut segala. Sebelum aku sempat mengelak ia mengalihkan pandanganya
pada Soraya. Baiklah, untuk sejenak cowok bernama Anthony ini memang selalu
membuatku baper. Dengan tingkahnya yang kadang selembut kapas dan
tiba-tiba berubah jadi segarang macan. Oleh karena itu di dekatnya jantungku
jadi sering deg deg an. Entah karena jengkel melihat dia yang terkadang
kejam menyiksaku dengan kata-katanya. Atau memang ada sesuatu yang lain?
“Kopi lagi?” Ia menoleh padaku seolah butuh jawaban.
“Iya nih, semenjak kita pergi ke kedai kopi di seberang jalan itu,
Si Emily jadi tergila-gila sama kopi, kayaknya dia lagi kecantol tuh sama cowok
barista ganteng yang minjemin aku payung kemarin, Oh andai aja gue masih
belum ketemu Roby, mungkin gue gebet juga tuh cowok hahahahaha.” Dasar nenek
sihir ucapku dalam hati, bukanya aku sudah mencintai kopi dari dulu bahkan
sebelum mengenal dia. Dan lagi-lagi tanpa menggubris omongan Soraya, Anthony
malah menatapku semakin dalam. Memangnya ada apa? Butuh jawaban lagi? Aku
hanya mengernyitkan dahi dan memutar bola mata, kembali fokus pada naskah yang
kuedit.
“Apanya yang mau digebet” terdengar suara horor Roby yang tiba-tiba
saja sudah ada di belakang Soraya. Gadis itu kelihatan gelagapan dengan mata
terbelalak kaget melihat kehadiran Roby. Aku yang menikmati adegan itu, tak
bisa menyembunyikan gelak tawa.
“Udahan yuk bercandanya, gak pada bosen apa di kantor terus, ini
udah jam pulang, kita kumpul ke kedai kopi dulu aja, aku yang traktir.” sanggah
Anthony meredam suasana. Eh tunggu, mendengar kata “traktir” telingaku sudah
berada pada posisi awas dan mulutku bergerak siaga untuk bilang.
“Aku ikut!” ucapku bersemangat.
“Eh bukanya, loe sendiri yang bilang mau lembur.” cegah Soraya
dengan cepat, tatapan sinis langung kulayangkan tepat di matanya, dengan
isyarat rahasia aku bilang padanya “Kata Siapa”, ia bergidik ngeri
melihat tingkahku. Aku menghela nafas panjang dan memandang Anthony yang
ternyata lebih dulu menatapku.
“Capeklah aku edit naskah terus, sekali-kali yang punya novel
sediain aku kopi gratis buat penyemangat, hehe” ucapku sambil bersandar di
bahunya dan menggerakkan alisku turun naik. Tapi alih-alih merespon, ia malah
mengacuhkanku dan meninggalkan ruangan lebih dulu. Apaan itu tadi? Tuh kan,
sudah kubilang Anthony itu sikapnya lebih garang dari macan.
“Sabar ya, sebenarnya diam-diam Anthony itu perhatian loh sama loe,
Mil” ujar Roby menepuk pundakku sambil mengacungkan jempol. Aku memang sudah
lama jadi editornya Anthony, jadi orang-orang menganggap kita lebih dari teman.
Padahal nggak ada hubungan apapun di antara kita, sahabat aja nggak apalagi
pacar. Kelihatanya dia cuma menganggapku sebatas rekan kerja saja. Nasib...
nasib... Eh memangnya aku ngarep banget ya sama dia.
***
“Emangnya ada acara apaan nih, loe nyuruh kita kumpul di sini.”
ucap Roby membuka awal pembicaraan.
“Kemarin paman gue yang punya perkebunan kopi di Toraja, minta
tolong gue buat ngurus beberapa urusan di sana. Nah sekalian liburan kantor,
emangnya kalian nggak mau wisata ke Toraja.” Aku hampir saja menyemburkan isi
mulut penuh espresso ke wajah Soraya, jika saja aku tak bersusah payah
menelanya. Wisata ke Toraja? Ini baru yang namanya amazing! . Dari
dulu aku pingin banget menikmati kopi Toraja. Aku ingin menikmatinya langsung
di tempat dimana kopi ini dilahirkan.
“Mau mau!” ucapku dengan ambisius.
“Iya, iya gue juga mikir lo pasti antusias banget pingin ke Toraja.
Itung-itung bisa jadi bahan riset buat tulisan loe juga kan? Katanya mau nulis,
pertama-tama angkat aja sesuatu yang sudah menjadi favorit loe dari dulu yaitu
kopi. Itu cenderung akan mempermudah loe dalam pengerjaanya.Jangan terlalu
mikirin edit lah, bentar lagi itu udah kelar koq, loe cuman lagi galau sama
pernikahan adik loe kan? Makanya gak selesai-selesai” Mataku berbinar-binar
mendengar penjelasan Anthony. Sekarang dalam pandanganku ada efek berkas-berkas
sinar di sekeliling tubuh Anthony.
“Cieee cieee ternyata Anthony perhatian banget sama Emilly”
“Gue juga bilang apa Anthony itu diam – diam merhatiin Emily.” Dua
sejoli itu masih sibuk memperdebatkan perasaan Anthony terhadapku. Tapi aku
sudah tak sabar ingin segera pergi kee Toraja. Toraja I’m coming.
“Apaan sih lo berdua, berisik aja!” Dari sudut mataku dapat kulihat
rona merah di muka Anthony. Apa mungkin macan galak ini bisa malu juga?
***
“Yeeee kita sampai di Torajaaaaa!” teriakku lantang, saking
senangnya melihat Tanah Toraja.
“Eh, jangan teriak-teriak malu dilihat orang” bisik Anthony tepat
di telingaku. Benar juga ini masih di jalan raya dan aku berteriak seperti
orang gila. Beberapa orang bahkan sudah melayangkan tatapan heranya padaku,
bisa-bisa mereka semua akan menangkapku.
Kami dijemput oleh mobil pick up milik paman Anthony, karena
jaraknya juga sudah lumayan dekat. Semilir angin membelai bebas rambut ikalku
yang sengaja kukuncir ekor kedua. Menikmati pemandangan desa yang sangat asri,
memanjakan mata kecilku yang memang merindukan pedesaan. Hidungku juga
menikmati oksigen segar yang memenuhi alam asri ini. Jika begini ceritanya aku
akan bersemangat sampai akhir wisata nanti. Namun sepertinya semangatku tak
menulari Soraya yang dari tadi hanya bergelayut manja di lengan Roby karena
perutnya terasa mual. Ia memang baru kali ini melakukan perjalanan sejauh ini.
Sedangkan aku pernah sekali pergi ke Pontianak bersama Anthony. Tentunya masih
sebatas urusan pekerjaan.
Selama perjalanan menembus perkebunan kopi. Paman Anthony banyak
melakukan penjelasan mengenai jenis dan kelebihan dari kopi Toraja. Aku tanpa
jenuh dengan seksama mendengarkan semua poin penting yang disampaikan, dan
tanpa ragu bertanya.
“Eh, udah puas belum sama penjelasan paman gue.” Ujar Anthony
menyapaku yang tengah melamun di pinggir kebun, duduk di sebuah kursi yang
ternaungi pohon besar yang rimbun. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaanya.
Namun mataku dengan sigap melihat tanganya yang menenteng dua gelas kopi hitam.
Uapnya seakan menjelma seperti tangan yang melambai-lambai padaku. Anthony yang
mengerti keinginanku segera menyodorkan satu gelas di tangan kananya . Tanpa
basa-basi, aku segera menerimanya dengan hati hati, meyeruputnya pelan-pelan
dan menghirup aroma magisnya. Wow... ini minuman paling istimewa yang
pernah kucicipi.
“Apa sih arti kopi dalam hidup kamu?” ucap Anthony sejurus
kemudian. Aku yang sedari tadi asyik menikmati udara sore itu, memandang
wajah Anthony. Entah mengapa aku melihat kedamaian di sana yang sejenak
membuatku tenang.
“Apa ya? Bagi orang dia itu mungkin cuma minuman, tapi bagi aku ia
seperti obat alami yang membuat suasana hatiku kembali tenang. Saat meminumnya,
secara tidak sadar semua saraf-sarafmu yang tegang akan rilex sejenak. Seolah
menyelesaikan sebuah keinginan yang belum terpuaskan. Terasa sangat lega
setelah meminumnya” ucapku sambil menyeruput lagi kopi di tangan, dan
menghembuskan nafas panjang, mempraktekkan hal yang barusan kujelaskan pada
Anthony
“Oh ya? Kamu gak takut sakit maagh kebanyakan kopi.”
“Hei...hei meskipun dia salah satu favoritku, aku juga harus
hati-hati dalam mengonsumsinya. Paling tidak aku bisa tetap menikmatinya dan
tidak pernah dirugikan olehnya. Yah meskipun aku memang sedikit kecanduan, sih,
hehehehe” Kami tertawa bersama-sama, tapi pada saat itu kami baru menyadari.
“Eh sejak kapan kita ngomongnya jadi aku-kamu an segala.” Ucapku
dan Anthony beberengan membuat kami jadi malu sendiri dan tak berani melihat
satu sama lain. Hanya beberapa detik kemudian Anthony tergelak.
“Kita kayak anak SMA aja ya. Padahal umur juga udah 25 tahun.”
Aku tersenyum membenarkan omonganya barusan.
“Kalau aku boleh tanya, kopi apa yang kamu suka untuk memulai hari
di awal pagi yang cerah?”
“Emh, apa ya? Mungkin latte dengan art bertuliskan happy”
ucapku asal untuk merespon pertanyaanya.
“Maka aku akan menjadi Latte itu untukmu. Emnjagamu agar tetap happy setiap
saat” ujar Anthony seraya mengacak rambutku pelan dengan senyuman manisnya
yang mungkin setara dengan cappuccino buatan barista di kedai kopi
langganan kami. Hanya saja ia lebih istimewa dan spesial, sehingga mampu
membuat pipiku memanas menahan perasaan cinta yang terpendam layaknya kelegitan
kopi favoritku.