Senin, 28 Desember 2015

Berkisah Dengan Kata

Hai.... Sudah lama rasanya tak pernah menulis lagi di blog kesayanganku ini. Catatan kecil di hari-hari penuh kejutan hehehehehe. Langsung aja ya..... Beberapa bulan lalu aku lagi gencar-gencarnya suka ikutan event lomba nulis cerpen yang dibuat antologi bersama. Sayangnya semua karyaku gak langsung bisa meluncur masuk  dengan mulus ke meja penerbitanya. Banyak yang gagal dan terpaksa hanya bisa jadi cerpen ang kusimpan di document laptop. Nah..... kali ini aku  akan pos beberapa cerpenku yang gak lolos ini. Hehehehehe semoga para pembaca yang berkenan bisa memberi komentar atau kritik. Agar kita bisa sama-sama belajar dalam kesalahan kepenulisan. Oke Cekidot.

CERPEN 1

Mawar di Ujung Senja

Sumber gambar : www.digaleri.com 

Sudah lima tahun lamanya, aku tak bertemu dengan wanita yang ada dihadapanku ini. Ia masih tetap sama seperti dulu. Bahkan tak butuh waktu lama, mataku untuk mengenalinya. Hanya saja ia tampak sedikit lebih berisi. Mungkin karena ia sudah memiliki 2 buah hati yang kini ikut duduk di sampingnya.

“Run” Ucapku menyentuh lembut pundaknya. Mengagetkanya dari lamunan.

Entah apa yang ada di pikiran Seruni Laila. Setelah menikah dengan Pramono, ia menghilang begitu saja dari kehidupanku. Seolah persahabatan yang ada diantara kita tak berarti lagi di hatinya. Aku menghela nafas panjang, saat tiba-tiba sebuah pesan masuk.

“Anton Dwi Prayoga, aku tahu aku bersalah. Mungkin di fikiranmu saat ini. Aku tak tau diri menghubungimu di saat aku membutuhkan bantuanmu. Tapi kumohon mengertilah ton, aku tidak tahu harus minta bantuan siapa lagi?” Seruni Laila

Isi sms ini membuatku gembira sekaligus kecewa. Apakah aku siap menemui Seruni. Bagiku seolah luka lama itu terbuka kembali. Lima tahun belum cukup bagiku untuk mengubur semua kenangan suram yang kualami. Aku sangat mencintai wanita ini Aku mengenalnya dari kecil. Bahkan hingga sekarang, perasaan itu tak pernah kurang suatu apa. Di usiaku yang hampir 30 tahun ini, aku masih tak mampu berpindah ke lain hati. Dan setelah aku mencoba melupakanya, kini Tuhan mempertemukan aku lagi denganya.


“Apa yang bisa aku bantu Run?” Ucapku lagi mencoba menenangkan dirinya. Amarahku seolah mereda dengan sendirinya melihat keadaanya saat ini.

“Aku baru dengar kalau kamu sekarang adalah seorang pengacara. Maukah kamu membantuku ton. Aku akan bercerai dengan suamiku.” Aku terkejut mendengar ucapanya.
Antara iba dan bahagia, aku tak bisa mengartikan perasaanku sendiri. Air mata yang sedari tadi dibendungnya, kini tak mampu lagi ia tahan. Melihat itu aku tak kuasa lagi ingin menghapus air matanya. Sayangnya, aku tak berhak melakukan hal itu. Aku bukan siapa-siapa baginya. Ia menyeka air mata yang membasahi pipinya dan menatapku nanar. Kulihat dua bidadari kecil yang hanya memandang aku dan Runi secara bergantian dengan heran. Runi memiliki 2 gadis kembar yang cantik. Mengingatkan aku denganya saat kecil. Sungguh mirip

“Hai nona-nona cantik, mau ikut om ke taman bermain. Nanti om belikan ice cream.”Ucapku sambil meraih tangan mereka berdua. Setengah berbisik aku berkata pada Runi.

“Kita bicarakan ini di taman, supaya mereka bisa bermain dan tidak mendengarkan pembicaraan kita.”

Taman bermain sangat ramai di hari Minggu. Tentu saja ini hari libur. Reva dan Rena 2 gadis kecil Runi tengah asyik bermain sambil memakan ice cream coklat yang kubelikan. Aku  mengajak Runi duduk di sebuah bangku kecil yang tak jauh dari mereka. Supaya kami berdua bisa mengawasi mereka dari jauh.

“Ada masalah apa? Kamu sama Pram?” Kataku kemudian. Jujur aku masih penasaran dengan masalah yang dihadapi Runi.

“Pram, berubah saat mengenal sekertaris barunya ton. Sejak saat itu, ia berubah kasar dan tak lagi memperhatikan keluarga. Sekarang aku terancam diusir dari rumahku sendiri. Seluruh kekuasaan atas perusahaan Ayah sudah jatuh ke tangan Pram.” Jelasnya panjang lebar seraya menahan tangis. Tanganku mengepal menahan marah. Ingin rasanya kuhajar wajah Pramono tak tahu diri itu. Aku sudah mempercayakan wanita baik ini untuk menjadi istrinya. Tapi ia dengan semena-mena menyalahgunakan kepercayaanku ini. Tak terasa tanganku seolah bergerak dengan sendirinya. Merangkul dan menempatkan kepalanya di dadaku. Ia membenamkan wajahnya di pelukanku. Isaknya makin keras terdengar, membuat hatiku semakin pilu dibuatnya.

“Jangan khawatir Seruni, dari dulu sampai sekarang janjiku tetap sama. Tak akan pernah membiarkanmu menangis.” Ujarku lirih di telinganya. Ada 7 hari lagi, sebelum sidang akhir keputusan pengadilan akan dibacakan. Aku masih mempunyai waktu  untuk membuktikan bahwa Pramono bersalah. Aku bertekad akan memenangkan masalah ini.



Aku masih antusias dengan wanita berbusana kantor dihadapanku ini. Matanya sesekali menatapku manja dan tersenyum simpul menanggapi semua ocehanku yang berusaha menjebaknya. Aku berada di club malam, menghabiskan waktu dengan sekertaris Pram. Tak butuh waktu lama aku mengenal dan mendekatinya. Ia tipe wanita yang dengan gampangnya mengobral dusta pada semua lelaki. Aku sengaja mengajaknya terus meminum alkohol, agar semuanya berjalan sesuai dengan rencana.

“Aku membenci Pram dari dulu. Kenapa tidak kau batalkan pernikahanya denganmu.”

“Aku juga membenci bos Pram, ia itu seperti mesin uang bagiku. Aku tak akan melepaskanya begitu saja. Ia begitu mudah diperdaya. Menelantarkan anak istrinya dan mengambil alih perusahaan kemudian memilihku. Sungguh sesuai dengan rencana.” Aku menekan tombol stop pada rekaman yang baru saja ku set 20 menit lalu. Nampaknya semua bukti akan memberatkan Pram

“Hakim memutuskan bahwa saudara Pram bersalah dan tidak berhak mengambil alih perusahaan milik Nyonya Seruni Laila.” Akhinya terdengar suara palu tanda keputusan akhir hakim telah ditetapkan. Membuatku bernafas lega. Pram seolah tak terima dan segera berlalu meninggalkan ruang pengadilan dengan wajah kesal. Namun tak berapa lama tiba-tiba terdengar suara ribut di luar. Membuat kami semua berlari ke arah depan. Tak kusangka, seorang Pram langsung mendapatkan balasan atas apa yang telah diperbuatnya pada Seruni. Ia ditabrak oleh sebuah mobil. Aku bahkan sempat melihat mobil yang tampaknya sengaja mencelakakan Pram. Aku ingat mobil ini. Mobil mewah berwarna hitam yang digunakan sekertaris Pram saat menemuiku di club malam itu. Saira wanita cerdik dan licik, ia pasti tak ingin Pram menjebloskanya ke penjara.

Seruni sangat khawatir dengan keadaan Pram. Sejak tadi ia mondar-mandir di depan UGD. Tanpa memperhatikan tubuhnya yang terlihat lemah dan kucel. Aku bersabar menungguinya di rumah sakit. Meski hatiku masih tak terima melihat sikap Seruni yang seolah sudah melupakan begitu saja semua kesalahan Pram. Dokter keluar dari pintu UGD dan segera diberondong dengan semua pertanyaan mengenai keadaan Pram oleh Seruni. Wajah Dokter terlihat sangat menyesal mengatakan bahwa Pram akan kehilangan penglihatanya kini. Seruni hilang keseimbangan sampai akhirnya aku menangkap tubuhnya yang hampir jatuh. Air matanya tak behenti keluar dari tadi.

“Run, masih pantaskah Pram, mendapatkan kekhawatiranmu kini. Ia sudah merasakan akibatnya. Biar dia rasakan semua ini Run, tinggalkan dia” Aku tak tahu perasaan apa yang hinggap di hati Seruni hingga dengan kasar ia mendorong tubuhku hingga aku jatuh di hadapanya. Lalu ia membentakku kasar.

“Tega, kamu ngomong kayak gitu ton. Mau bagaimanapun dia masih suami aku. Dia juga korban. Aku  mencintainya tanpa syarat dan alasan. Tak ada syarat untuknya agar dia tidak melukaiku. Tak ada syarat untuknya agar dia bisa membuatku tersenyum. Tak ada syarat apapun agar dia bisa mejadi suamiku.ton. Jadi tak ada alasan untukku membalas dendam pada suamiku sendiri.” Balasnya seraya meninggalkan aku yang masih terperangah dengan semua ucapanya.Hatiku terasa diiris sembilu mendenga semua penuturan Seruni, seolah pengorbananku kini tiada arti lagi di hatinya.

Jembatan kota di senja hari, tempat dimana aku bisa melihat keramaian kota di tengah kesepian. Tempat dimana aku dulu, membuang bunga mawar yang akan kuberikan pada Seruni , simbol bahwa aku akan melupakanya. Dan kuharap apa yang akan kulakukan untuk kedua kalinya ini, akan menjadi yang terkhir bagiku. Karena tak akan ada lagi nama Seruni Laila, aku akan melupakanya.

“Anton” Tiba-tiba kudengar suara yang familiar di telingaku. Aku menoleh ke belakang mendapati Seruni yang berlari menghampiriku. Matanya berkaca-kaca, memandangku dengan penuh harap. Aku hanya diam tak mampu membalas tatapan matanya.

“Maafkan aku ton, aku tak tau diri.” Ucapnya seraya menyerahkan buntalan kertas kecil berwarna biru muda yang nampak tak asing bagiku. Perlahan ku buka isinya.

“Kamu mungkin akan terkejut dengan apa yang aku katakan di surat ini Run. Aku dan kamu sudah seperti saudara, tapi aku menganggapmu lebih dari itu. Entah sejak kapan perasaan ini hinggap begitu saja. Entah sejak kapan aku selalu ingin melindungi dan berada di sampingmu setiap hari. Entah sejak kapan aku ingin memilikimu dan menjagamu slalu Run. Aku hanya ingin bilang bahwa aku mencintaimu Run, Aku mencintaimu. Dan aku butuh jawaban darimu?” Aku terkejut melihat surat yang dulu sengaja aku letakkan di bawah meja Seruni. Saat sebelum hari kelulusan SMA.

“Aku tak tahu kamu mengirim surat ini ton, Pram yang bilang ia menyembunyikan semua ini dariku tadi. Ia menyesal ton, dan aku benar-benar merasa bersalah karena tak pernah menganggapmu selama ini. Kamu sudah berkorban banyak untukku ton, tapi aku malah.............”

“Sssst.... aku kagum sama kamu Run.” Ucapku menahan perkataanya, membuatnya memandangku heran.

“Baru seminggu kita bertemu lagi, aku sudah belajar banyak darimu, cintaku padamu sama dengan cintamu pada Pram, tak butuh syarat dan alasan. Tak ada syarat untukmu membalas cintaku. Cukup melihatmu bisa bahagia dan tersenyum, itu sudah cukup bagiku.” Ucapku serya memberikan mawar yang seharusnya telah berakhir di dasar sungai jembatan ini. Tak kusangka Seruni memelukku, membiarkanku meski sejenak saja melepaskan rasa rinduku padanya.

“Terima kasih ton”Bisiknya lirih di telingaku. Biarlah senja ini menjadi saksi hingga matahari terbenam bersama perasaanku terhadapmu. Meski cintaku akan slalu memberi dan tak pernah mengharap balasmu.


CERPEN 2

Menikahlah Denganku



Sumber Gambar : dewiasrilah.wordpress.com

Seminggu lamanya aku mendambakan hari ini datang. Setelah interview kerja aku terpilih sebagai satu-satunya orang yang berhak menimba ilmu di Paris, sebagai designer di sebuah majalah ternama di Jakarta. Dan kini aku telah sampai di bandara. Dengan semangat membuka lembaran hidup baru, aku segera berjalan melewati pintu. Namun tiba-tiba seseorang menahan lenganku dari beakang. Refleks aku berbalik arah dan memandang tajam sosok laki-laki yang berani mencekal langkahku. Namun pandanganku berubah sendu melihat wajah kecewa Adipati melihat diriku saat ini.
“Kamu benar-benar ingin pergi lagi Rum. 3 tahun aku masih menunggumu, setelah Tuhan memberikan kita kesempatan untuk bertemu, kamu ingin menghindar lagi dariku.” Keluhnya pelan, menghela nafas dan mengalihkan pandangan. Melepaskan tanganku cepat.

“Kamu tahu, hubungan kita tak akan berhasil Dip. Ibu aku tidak pernah menyetujui hubungan kita. Dan aku sudah bukan gadis manis yang slalu kau puja bak dewi dulu. Aku janda Dip. Aku hanya janda yang sudah diabaikan oleh suaminya sendiri. Aku tidak pantas untukmu.” Ucapku menahan air mataku. Ia meletakkan kedua tanganya di bahuku, tatapanya lurus memandang sudut mataku yang pasti sudah tergenang air mata.

“Kamu fikir aku di sini untuk apa Rum. Kamu fikir dari dulu hingga sekarang hati ini untuk siapa? Bahkan aku tidak pernah mampu menyingkirkan perasaan ini meski mengetahui kamu telah menjadi istri Doni. Karena aku tahu Doni bukan yang terbaik buat kamu. Aku yang tulus dan selalu mencintai kamu Rum.” Ucapnya lagi membuatku hanya mampu menunduk. Pandanganku buram, mataku sudah penuh dengan air mata. Tidak! Aku tak akan menangis karena cinta lagi. Tanpa sadar kusingkirkan kedua tangan Adip dengan kasar.

“Aku belum siap jatuh cinta lagi. Aku tidak bisa percaya dengan lelaki manapun setelah Doni setiap hari menyiksaku dengan tingkah kasarnya. Bukan hanya hatiku yang terluka karena dia berselingkuh, tapi tubuhku juga sering dipukulinya Dip. Aku takut merasakan cinta lagi Dip. Aku tidak siap dengan semua ini.” Balasku cepat tanpa memandangnya, namun dapat kulihat Adip menggenggam tanganya. Seolah ingin menghajar Doni hingga babak belur di hadapanku. Namun aku tak ingin peduli dengan semua itu saat ini. Aku segera beranjak pergi meninggalkanya.

“Apa penantianku hingga saat ini juka akan sia-sia Rum.” Ibanya, menghentikan langkah kakiku.

“Kunjungi aku di Paris setelah satu tahun, aku perlu memenangkan diri saat ini.” Balasku sembari cepat melangkahkan kaki menuju impianku.

Aku kembali menguap berkali-kali. Dari tadi malam aku memang tidak bisa tidur. Tak terasa tinggal menghitung hari aku akan meninggalkan Paris setelah satu tahun berada di sini. Lamunanku buyar seketika saat seseorang mengetuk pintu apartemenku. Seorang pngirim barang memberiku sebuket bunga dan sebuah kotak berukuran sedang. Kucium aroma mawar merah di genggaman. Wanginya sangat menenangkan. Tak lupa kubaca sebuah surat di dalamnya.

“Aku pernah singgah, namun tak tahu seberapa besar kenangan indah mampu membawamu.Angin hanya bisa berbisik, mengabarkan keinginanku untuk menjagamu. Namun hati ini tak akan berbohong, ia akan terus mencarimu, kemanapun kau pergi. Ia tak pernah berhenti mengharapkanmu.” Perasaanku sejenak kembali teringat pada Adip. Tak sabar aku membuka sebuah kotak yang didalamnya berisi sebuah dvd/


Di rekaman dvd itu, tampak kenangan-kenangan indahku dulu bersama Adipati. Mulai dari foto kebersamaan saat akuulang tahun, saat aku sakit dan ia dengan sabar merawatku. Bahkan foto-foto yang aku tak pernah tau ia telah mengambilnya. Di akhir tayangan aku terkejut melihat Ibu dengan tatapan sayunya seolah melihatku dan berkata.

“Maafkan Ibu Rum, dulu ibu tak menyetujui hubungan kalian. Ibu malah memaksamu menikah dengan laki-laki temprament seperti Doni. Jangan ragu untuk mencintai Adipati sekali lagi nak. Ibu tahu dulu kalian getol sekali untuk bisa menjalin hubungan lebih serius. Jika dulu bisa kenapa sekarang tidak nak. Ibu merestui kalian, jemputlah kebahagianmu anakku. Arum Diana.” Ucap Ibu sembari melelehkan air mata. Aku tak mampu membendung air mataku. Terisak pelan, merenugi kejadian yang kulihat barusan. Apa masih berhak aku mencintaimu Dip. Apa aku siap menerima konsekuensi jatuh cinta lagi. Sebuah pesan masuk sedikit mengagetkanku. “Malam ini..... temui aku di Menara Eiffel Arum Diana jika kamu masih mempercayaiku.”.

Malam begitu pekat. Semilir angin berhembus kencang membelai rambut ikalku. Hatiku yang telah menuntun kakiku kemari. Dan aku sedang menunggunya. Aku masih memandangi kondisi sekeliling, hingga seorang badut mickey mouse menghampiriku. Aku yang tidak sedang dalam keadaan mood senang untuk diajak bercanda sedikit gusar melihat badut itu terus saja menggangguku.

“Sorry!!!!” Terakku sedikit keras sukses menghentikan aktivitas kurang kerjaanya itu. Ia lalu membuka penutup kepalanya. Dan menampakkan wajah manisnya lagi padaku. Cukup sudah! Terlalu banyak aku terkejut hari ini. Badut itu ternyata Adipati.IA terkekeh pelan mendapati wajahku yang masih sebal.

“Kamu terlihat lebih cantik jika sedang marah. Sudah jangan ngambek gitu, ayo naik ke atas.” Ucapnya santai, menarik tanganku. Apa dia lupa kalau aku takut ketinngian.

Semenjak perjalanan menuju ke atap menara Eiffel, aku tanpa sadar menggenggam keras tangan Adip, membuatnya masih menyimpan senyuman, bahkan hingga sampai di atas. Tak kusangka rasa takutku hilang seketika tergantikan dengan panorama indah kota Paris dilihat dari atas sini. Kelap-kelip lampu gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi langit kota Paris, membuatku hampir tak mengedipkan mata.

“Gimana......... Indah kan..... Gak takut ketinnggian lagi.” Ujarnya lirih begitu dekat di telingaku. Ia mengulum senyum dan menghadapkan posisi tubuhku di depanya.

“Rum. Kamu pasti tahu kan.... aku ingin menyampaikan sesuatu malam ini. Di puncak menara Eiffel.Seperti impianmu saat SMA dulu.” Ucapnya tegas, tatapanya penuh tertuju padaku.

“Apa yang ingin kamu katakan.” Tantangku padanya.

“Menihkahlah denganku rum.” Ucapnya singkat, namun tetap dapat memuat jantung dan perasaanku tak menentu maknanya. Aku kembalimenundukkan kepalaku, tak bisa membalas tatapan matanya. Tapi ia menyentuh daguku dan memaksaku untuk tetap memandang wajahnya.

“Jangan menghindar Rum. Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Kamu membutuhkan cinta baru, untuk pengobat luka hatimu. Dan aku berjanji akan selau ada untuk membuat hatimu bahagia.” Ujarnya tetap meyakinkanku. Dan seolah ada perasaan hebat yang membuatku membalas semua peryataanyaa dengan anggukan pasti.

“Ya...... aku mau menikah denganmu Adipati Nugraha.” Balasku membuatnya tanpa ragu, menghaburkan pelukan hangatnya padaku. Malam ini biarlah kota Paris membelai aku dan Adip dengan keindahanya. Membuat kita mengenang kembali cinta yang pernah tumbuh diantara kita

CERPEN 3


Kaulah Pendamping Hidupku

Sumber Gambar : muslimahtalk.com 

Rintik-rintik hujan membasahi dedaunan. Tak ada tanda-tanda kedatanganya yang kunanti di depan rumah sembari memainkan telepon genggam di tangan. Hawa dingin tak membuat keringat di tubuhku ini hilang, malah semakin menjadi. Hatiku sedang gelisah menunggunya. Aku cemas jika ia tak cepat menunjukkan diri semua orang tidak akan percaya, bahwa Mas Arman sungguh-sungguh mencintaiku. Dan ingin menjadikanku pendamping hidupnya.

Tak lama saat aku bergumul sendiri dengan fikiranku. Dari kejauhan kulihat sosok laki-laki bertubuh tegap nampak berlarian kecil menuju teras rumahku. Rambutnya sedikit cepak, tapi aku sangat mengenali Mas Arman meski dari kejauhan. Akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega. Melihat parasnya sedikit demi sedikit terlihat jelas oleh pandanganku. Senyumnya yang manis itu mengembang, memandangku dengan mesra.

“Darimana saja, mas? Kamu potong rambut.” Ucapku segera memberondongnya dengan pertanyaan.

“Iya........ maaf lama..... habis masa’ mau bertemu calon mertua rambutku harus acak-acakan sih.” Balasnya sambil terkekeh pelan membuatku juga ikut tertawa.

“Sudah datang nak.” Suara ibuku menghentikan keakraban kami berdua. Melihat hal itu, tanpa dikomando aku segera pergi ke belakang.

 “Bu, saya benar-benar ingin melamar anak ibu untuk menjadi istri dan pendamping saya seumur hidup.” Ujarnya mantap sambil menatap mata ibuku instens. Ibuku hanya mengangguk pasti melihat kesungguhan Arman.

“Kamu akan berjanji pada ibu nak. Bahwa kamu akan slalu melindunginya, apaun yang akan terjadi padanya nanti.” Tanya ibuku dengan nada bergetar.Apa ibu sedang menahan tangis.

“Tentu bu saya tidak akan ra.........” Kata-kata Arman terhenti saat melihat kakaku Rahma yang tiba-tiba ikut menemuinya, dan duduk di sebelah ibu. Taapan tajam Kak Rahma seolah mengeksekusinya dalam diam.



“Tapi kenapa aku masih kurang percaya padamu Man. Kamu pernah masuk bui karena menganiaya orang. Aku tidak bisa janji, jika tiba-tiba adikku nanti akan ikut menjadi korban.” Kata-kata tajam begitu saja meluncur dari mulut kakakku membuatnya terperanjat.

“Astaghfirullah kak. Saya begitu karena laki-laki kejam itu akan memperkosa adik saya, mana mungkin saya diam saja. Sayangnya waktu itu saya tidak memiliki bukti apapun untuk membela diri.” Balasnya pasrah sambil mengalihkan pandangan, sakit hati dengan tuduhan kakakku.

“Tapi kamu lihat sendiri, kondisi adikku Randini kan? Dia lumpuh, dan slalu bertumpu di kursi roda. Apa kamu bisa memberikan perhatian lebih saat mengurusnya. Dan tidak akan berpaling pada wanita lain karena bosan hidup dengan dia.”Katanya lagi lebih keras.
Mendengar ucapanya hatiku terasa ngilu. Saraf-sarafku terasa melemah dan tak mampu kembali tegak. Seolah gemuruh telah menghancurkan benteng pertahananku. Ya..... Benar..... kecelakaan mobil 2 tahun lalu sudah merenggut mimpi-mimpiku untuk mampu berlari lebih kencang. Jangankan berlalri, berjalanpun aku tak mampu menggerakkan kakiku. Aku lumpuh...... dan dokter berkata kelumpuhan ini akan aku alami seumur hidupku. Keheningan terjadi di ruang tamu, hanya isakan kecil yang kutahan agar mereka tak menyadari aku  berada di balik tembok.

“Jangan pernah meragukan kesungguhanku kak. Aku sudah melewati satu tahun menjalin hubungan dengan Randini. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk mengenalnya. Untuk mencintainya. Dan aku ingin menjadikanya sah sebagai istriku. Agar aku bisa merawatnya, menyayanginya dan menjadi imam yang akan slalu menuntun langkahnya. Aku tidak akan pernah meninggalkanya.” Ucapnya tulus tanpa keraguan. Membuat air mata ibuku yang sejak tadi ia bendung, tumpah seketika. Kakakku hanya bisa terdiam, meninggalkan Arman dan Ibu dalam kebisuan.

Sekarang aku di sini bersama Arman di depan teras memandangi tanah yang basah setelah siraman air hujan tadi.

“Aku ragu bisa menjadi yang terbaik untukmu Mas.” Ucapku berat

“Sssssst..... jangan pernah mengatakan hal tidak penting seperti itu lagi. Kamu yang terbaik dan akan slalu seperti itu. Kamu yang aku cintai dan akan slalu seperti itu. Kamu itu indah Din. Sampai kapan kamu tak bisa menyadarinya. Kecantikan hatimulah yang telah membawa ketulusan perasaanku padamu. Kamu itu Anugrah Cinta-Nya yang telah Allah berikan sebagai pendamping hidup setiaku Din.” Jelasnya lagi. Sukses membuat bulir-bulir air mataku jatuh. Kau juga Anugrah Cinta-Nya yang tak terhingga padaku Mas. Setelah adanya dirimu aku kembali bisa menikmati nafas hidupku seperti sdia kala. Kamu yang sudah membangkitkanku dari keterpurukan. Dan aku yakin kekuatan cintamu akan slalu menuntunku di dalam Jaln yang diridhoi-Nya.


Satu bulan lamanya, aku menunggu-nunggu hari ini tiba. Hari ini hari pernikahanku dengan Mas Arman. Aku hampir tidak mengenali wajahku sendiri, melihat sosok cantik di seberang sana yang terbalut hijab berwarna putih dan kebaya manis berwarna putih pula. Namun aku terkejut melihat sosok lain di seberang sana, Kakakku kini berada tepat di belakangku, sembari tersenyum tapi melelehkan air mata. Ia terduduk di depanku dan menangis penuh penyesalan.

“Maafkan kakak Din, di hari itu, kakak tidak bermaksud menyakitimu, kamu tau sendiri bahwa pernikahan kakak telah gagal di tengah jalan. Kakak berceri dengan pria yang tega mengkhianati kakak. Jadi........ kakak takut setengah mati menyerahkan kamu pada Arman.” Ucapnya dengan isakan yang tambah keras. Aku memeluknya perlahan

“Kak, aku tahu kakak sangat khawatir padaku. Tapi aku tahu Arman tidak seperti apa yang ada di bayangan kakak. Dia tulus memberikan cintanya padaku.” I melepaskan pelukanku dan menunjukkan senyum penuh kelegaan. Dan mengangguk pasti seolah telah menyetujuiku bersama dengan Arman.

”Saya terima nikah dan kawinya Saudari Randini Larasati binti Darmawanto dengan emas kawin tersebut tunai.” Ucap Mas Arman lantang. Setelah semuanya menjawab sah, kami berdoa pada Allah dengan rasa syukur yang tak terhingga telah menyatukan hubungan kami menjadi ikatan suci pernikahan. Aku mencium tangan suamiku dengan penuh hormat, membuat Mas Arman tanpa ragu mendaratkan ciuman hangatnya di keningku. Ya Allah aku yakin dialah Anugrah Cinta yang Kau janjikan padaku.


CERPEN 4

Move On



Sumber Gambar : www.lovethispic.com

            Sudah lama aku menantikan waktu ini, memandang denting jam yang memburu. Hari ini adalah hari dimana aku dan kawan-kawanku menjalani wisuda. Simbol paling berarti di sejarah pendidikan, bahwa kami telah menempuh perjalanan selama tiga tahun dalam menimba ilmu. Dari tadi aku tak bisa menyembunyikan sesungging senyum di sudut bibirku. Mengingat betapa kerasnya perjuanganku selama ini.

            Di ruangan ini, suasana riuh para siswa-siswi yang ingin merayakan kelulusanya berkumpul di tempat ini. Dengan jubah wisuda dan toga di kepala. Ekspresi penuh kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah mereka masing-masing. Saling bercengkrama dan tertawa lepas sambil menunggu para orang tua memasuki ruangan.

            Tepat di ujung sana, mataku terpaku memandang dua insan saling berbicara dengan akrab. Aku melihat Risma dengan senyum manis yang disertai lesung pipit saling beradu pandang dengan Reza. Mereka terlihat asyik mengobrol berdua, tanpa menghiraukan orang lain di sekeliling mereka. Bahagiaku seolah lenyap seketika, bergantikan hawa panas yang terasa membakar atmosfir udara di sekelilingku.

            “Para wisudawan-wisudawati diharap memasuki ruangan.” Isyarat dari pembawa acara yang tidak lain adalah Bu Ratna. Kami semua segera memasuki ruangan secara berurutan. Duduk di kursi masing-masing. Sedangkan aku, tak bisa lepas memperhatikan Reza dan Risma yang kebetulan juga mendapatkan posisi kursi berdekatan, membuat mereka tetap bisa nyaman mengbrol sepanjang acara berlangsung. Teganya kamu Reza, melakukan ini kepadaku. Tapi apa daya di sini aku hanya bisa cemburu tak jelas. Aku bukan siapa-siapa bagimu. Hanya teman yang tanpa sadar kau manfaatkan. Hanya teman biasa yang tak bisa menjamah hidupmu terlalu dalam. Bahkan untuk menatap matamu saja,engkau tak bersedia mengizinkanku untuk melaukan hal itu.

            Teringat masa-masa dulu, saat takdir selalu mempertemukanku dengan Reza, dari kelas satu hingga kelas tiga. Reza kerap menggangguku dan sering juga mengabaikanku. Dan aku tentu saja diam-diam merindukan kejahilanya itu.

            Ia suka sekali meminta bantuanku, untuk mengerjakan tugas. Dan aku tak pernah bisa mengelak, saat melihat wajahnya yang memelas itu. Meski aku sendiri juga tengah disibukkan oleh  pekerjaan rumahku sendiri. Ia sangat suka membuat aku tertawa lepas namun di sisi lain ia juga tak pernah mengetahui bahwa perilakunya tak jarang menyakiti hati.

            Seperti apa yang dilakukanya dulu, saat remed matematika tiba-tiba dilakukan secara dadakan. Jujur aku tak terlalu mampu di bidang study ini. Aku tak bisa membantunya, dan ia berpaling pada kawan lain yang ternyata mampu menyelesaikan soal petaka yang rumit itu. Ia berterima kasih penuh penghormatan pada gadis yang menjadi dewa penyelamatnya itu tepat dihadapanku. Tanpa menyadari, hatiku terluka karena tak pernah mendapatkan hal yang sama, meski kerap membantunya. Jujur itu hal paling konyol yang pernah kufikirkan. Bukan salah Risma  jika ia membantu Reza, tapi hatiku seolah tak terima melihat hal seperti itu terjadi di depan mataku.

            Sejak memiliki perasaan aneh pada Reza, aku mulai sering ngelantur. Merenung tak jelas dan prestasiku turun drastis. Hari-hari kulalui hanya dengan berharap agar Reza memperhatikanku atau bahkan hatinya bisa terbuka untukku. Berangan-angan akan kejadian tak terduga yang mungkin saja kualami bersamanya. Atau sekadar mencari perhatian yang bagiku sangat tak penting untuk dilakukan.

            Dan semuanya sia-sia. Aku melakukan sesuatu hal yang tak berguna. Untuk apa memperjuangkan orang yang bahkan tak tahu dengan perasaan kita saat ini. Aku telah mengabaikan kepercayaan yang diembankan ibu padaku untuk menjadi siswa terpelajar. Aku lupa tujuanku di sini adalah untuk memberi kebanggaan padanya. Sejak saat itu, UNAS sudah tinggal beberapa bulan lagi. Tak ada kata terlambat selagi masih ada waktu. Saat itu juga kumanfaatkan waktu yang singkat ini, untuk memperbaiki semua kesalahanku.

            Aku harus berdamai dengan hidup. Aku tak boleh cemburu buta pada Risma atau bahkan diam-diam memaksakan perasaanku pada Reza. Aku mengabaikan perasaanku dan belajar bersama dengan mereka. Aku juga berlatih pada Riana yang jago matematika untuk mengatasi kelemahanku di pelajaran yang dari dulu menjadi momok bagi para peserta ujian. Tiada hari tanpa belajar, belajar dan belajar.

            Tapi saat ini, di hari paling menggembirakan ini, mengapa aku tak bisa mengendalikan hatiku lagi melihat Risma dan Reza bercengkrama. Apakah di hari terakhir kita bertemu, kamu tidak ingin menyapaku sekali saja Reza. Aku merindukan saat-saat bersama denganmu seperti dulu. Aku tak lagi berselera mengikuti jalanya acara. Kutempelkan headset di telinga dan mendengarkan channel radio favoritku melalui handphone. Tak sengaja, aku memutar sebuah lagu yang baru kudengar namun membawa pengaruh besar pada kemantapan hatiku.

Inilah hari yang ku nantikan
Ku tak akan merasa sesal
Lupakan yang tertinggal
Ku siap melangkah
Takkan ku mencintaimu lagi
Cintaku berhenti disini
Tak ada lagi hati Ini saatnya
Move Move On
I'll Move On

            Semangatku yang telah padam bagai terbakar lagi, mendengarkan lagu dari finalis mamamia Margareth yang berjudul move on. Saat tengah asyik menikmati tiap lirik lagunya meresap di kalbuku. Seseorang dengan kasar mencubit lenganku. Membuat aku mencopot headset dan hendak memprotes Karina yang matanya melotot ke arahku.

            “Diva mau sampai kapan orang-orang menunggu kamu buat maju ke podium. Dari tadi Pak Damar memanggil-manggil nama kamu. Eh, kamu malah enak-enakan dengerin musik.” ucap Karina yang masih tak kumengerti.

            “Ke podium?” aku masih bertanya pada Karina.

            “Iya Va, kamu terpilih sebagai juara umum tahun ini.” ucapan spontan Karina membuatku refleks  membelalakkan mata. Seolah masih tak menyangka akan apa yang kudapatkan hari ini, aku melangkah menuju podium diiringi tepuk tangan riuh kawan-kawanku. Kulihat wajah penuh kebanggan tersirat pada respon ibu yang masih tak henti memperlihatkan senyumanya padaku. Kutuntun tangan ibu  berjalan bersama naik ke atas panggung.

            Diva Anindya Lestari berhak mendapatkan beasiswa ke Jakarta bersama dengan juara umum yang lain di berbagai daerah ini.” Pak Kepala sekolah mengakhiri pidatonya, membuatku tak berhenti mengucap syukur.

            Hari ini aku benar- benar akan move on. Bukan hanya move on dari Reza. Akan tetapi move on dengan segala sifat buruk dan kesalahan dalam menjalani kehidupanku selama ini. Aku akan berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik. Demi membanggakan ibundaku tercinta dan menggapai sgala cita-cita yang slama ini kuimpikan.


CERPEN 5



I Hate My Body


Sumber Gambar : whisper.sh

            Pagi berselimut kelabu. Awan tebal masih mendominasi langit. Dua mata sayu, masih menggeliat tak menentu. Memandangi dedadunan kering yang jatuh berserakan. Hari ini sama seperti biasa. Aku tak berselera menjalani kehidupanku berikutnya. Ingin rasanya aku hanya bersembunyi di sini. Di tempat sunyi ini. Di balik jendela yang setia menemani. Kesedirianku kini akan sangat berarti.

            Tapi aku tahu, hal itu tak mungkin terjadi. Meski kebencian dengan semua hal yang bisa saja kutemui di luar sana. Membuatku resah meninggalkan tempat duduk ini. Namun aku tak bisa begitu saja menghentikan aktivitas sehari-hari. Dan akhirnya kaki – kaki ini membawaku ke kamar mandi.

            Setelah berbenah serapi mungkin. Aku berjalan menuju kaca yang terletak di dekat lemari besar. Aku bisa melihat seorang gadis dengan lekukan tubuh datar tak menarik. Lipatan lemak di sana-sini yang tak enak dipandang. Wajah penuh jerawat, dan kantung mata yang terlihat jelas karena begadang semalaman. Dialah aku. Aku yang sama sekali tak diharapkan, bahkan oleh jiwanya sendiri.

            Tempat seindah ini rasanya bagai penjara. Yang menghimpit tarikan nafasku berkali-kali. Aku berjalan dengan langkah gontai, menyusuri lorong sekolah yang membisu. Keramaian semu ini tak akan mampu membuat hatiku berhenti dengan kesepianya. Tubuh-tubuh molek yang tengah berbincang sana-sini. Ketawa-ketiwi dan saling menyapa satu sama lain. Aku membenci senyum mereka. Tawa lepas tanpa beban yang mereka tunjukkan. Seperti sembilu yang menghujam jantungku tanpa henti.
           
Langkahku berlanjut menuju ruang kelas tempatku menimba ilmu. Rasanya jarak beberapa meter ini menjadi berkilo-kilo jauhnya jika berada di keramaian. Mata-mata kejam yang melirikku tak bersahabat. Bagai cakar macan yang mencengkram tubuh dempalku tanpa ampun. Pandangan menghina yang kurasa tengah mereka tunjukkan padaku. Ingin rasanya aku berlari sejauh mungkin. Kembali pulang dan duduk di balik jendela.
           
Pikiranku tak fokus pada buku rangkuman IPA. Semua penjelasan guru dan nilai-nilainya bagai angin lalu yang lewat begitu saja di telingaku. Apalagi setelah tanpa sengaja pelajaran kali ini menyinggung masalah berat badan. Mereka semua tak akan melepaskan begitu saja kesempatan emas ini. Menodai diriku dengan hujatan. Cacian yang bagi mereka mungkin hanya berarti candaan ringan. Tapi tak semudah itu jiwaku merangsangnya dengan baik. Respon hatiku menolak setiap kata yang terluncur mulus dari mulut-mulut mereka. Batinku terluka, ingin aku menjerit dan berontak tak terima. Tapi yang mampu kulakukan, hanya menunjukkan senyum tipis. Tanpa komentar yang bermakna. Berharap mereka tak tahu apa yang kurasa, sehingga tak ada yang menganggapku manusia lebay. Tak bisa bergaul dan sukar diajak bercanda. Akankah itu yang ada di benak mereka. Yang kutahu, aku sudah berusaha semampunya.
           
Dentang bel tanda istirahat berbunyi. Rasa laparku tak mampu kubendung lagi. Segala yang bisa kumakan sudah kujelajahi. Dan tak ada yang tersisa dari penyesalan karena sudah menelan sampah-sampah pembawa masalah ini. Di dalam toilet, aku masih bisa memandang bayanganku sendiri di depan kaca, berteriak kasar menyiksaku dengan kata-kata jahatnya.

Tanpa basa – basi, segera kumasukkan dua jariku ke tenggorokan. Berharap semua makanan itu kembali dan tak memenuhi lambung di badan. Lama sekali... tapi tak ada jawaban. Perutku  yang tak tahu diri ini pasti sudah menelanya tanpa pertimbangan. Aku tak menyerah dan terus memaksa. Agar semuanya segera tumpah di hadapanku. Dan berhasil, makanan-makanan yang kini tak berbentuk itu dengan sukses keluar dari mulutku. Aku tersenyum lega melihatnya. Rasa sakit menjalari tenggorokan yang tanpa belas kasih kupaksa memuntahkan semuanya. Aku menangis tertahan, memandangi diriku yang bersimbah peluh di depan kaca. Hari ini aku sungguh tak berdaya.
           
Di dalam kamar ini, aku hanya sendiri. Kesendirian adalah hadiah terindah yang kunikmati saat ini. Namun kenangan-kenangan buruk itu masih terekam jelas, dan tak mampu hilang dari fikiranku. Aku benci tubuhku. Dari dulu dan akan selalu begitu. Mengapa usahaku untuk bisa ideal seperti nona-nona cantik lainya selalu saja gagal. Mereka bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Cinta, harapan, impian. Sedangkan aku, berakhir dengan keterpurukan yang mendalam.
           
Aku juga ingin seperti artis terkenal pujaanku. Cantik, indah, rupawan, dan mempesona. Yang kini fotonya tengah kupandangi dengan binar air mata. Kemolekan tubuhnya membuatku frustasi saat kornea mataku beralih memandang tubuh tambunku ini. Andai saja dia bisa disakiti  agar mau menuruti sgala perintahku.
           
Entah setan apa yang sudah merajai hati. Tanpa sadar kutorehkan guratan-guratan luka di sekitar tanganku. Melihat darah yang mengalir rasanya puas, seolah dendamku terbalaskan. Namun hatiku masih mengingikan yang lebih. Mataku melirik lipatan-lipatan lemak di perutku yang besar. Membuatku ingin membalaskan sakit hatiku juga di sana. Namun sebuah tangan, tiba-tiba mencegah pergerakanku. Pandangan mataku bertemu dengan dua matanya yang sudah digenangi air mata. Ia memelukku dalam diam. Kakakku yang slama ini hilang. Aku terkejut dia pulang dan melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku merasa malu dan putus asa. Aku sadar apa yang kulakukan ini tak normal. Kini aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya dalam pelukan kakakku tercinta. Entah apa yang akan terjadi nanti, dan setelah ini. Sekarang aku hanya ingin menangis, tanpa memikirkan apa-apa lagi.


CERPEN 6


I LOVE YOU FOR A THOUSAND YEARS


             
            Bola mataku menjelajahi seisi ruangan serba putih ini. Semakin aku mencari sebab kejadianya, mengapa aku bisa ada di sini? Membuat nyeri di kepalaku tak tertahankan lagi. Aku menyerah, dan lebih memilih untuk beristirahat. Tiduran sambil memandangi langit-langit rumah sakit. Merenungi nasibku sendiri. Dokter bilang, aku mengalami amnesia. Kecelakaan dahsyat memporak porandakan ingatanku. Bahkan namakupun aku tak mengingatnya. Yang kurasakan kini hanya kebingungan dan nyeri di sekujur tubuhku yang didominasi perban.
           
Hari ini, adalah hari yang menyenangkan. Setelah hampir seminggu aku sadar dari koma panjangku. Berada di ruangan rumah sakit yang tercium menyengat bau obatnya membuat kepalaku tambah pening. Itu sebabnya aku begitu getol ingin segera pulang. Ayah dan Ibuku yang nampak tak setuju dengan alasan masih mengkhawatirkan keadaanku, akhirnya memilih untuk mengikuti kemauan anak semata wayangnya ini.
           
 Kuhirup udara segar di belakang rumah sepuas-puasnya. Kurasakan hawa sejuk memenuhi rongga dadaku. Semilir angin sore menyempurnakan kelegaan hatiku saat ini. Di tengah asyiknya diriku menikmati keheningan, terdengar alunan syahdu suara musik yang berirama kencang. Mengalun begitu saja di telingaku.

Rasa penasaran memaksa kakiku untuk terus melangkah mencari sumber suara itu. Dan kudapati Ayah dan Diana keponakanku sedang berduet memainkan piano. Aku yang tertarik dengan aktivitas mereka, mencoba berjalan semakin dekat bahkan aku kini di samping Diana dan menyentuh lembut piano besar berwarna hitam ini. Tiba-tiba sekelebat bayangan seolah hadir di fikiranku. Ingatanku melayang tepat di depan piano ini. Kulihat seorang gadis yang ternyata adalah aku sedang berdiri di samping seorang pria yang tengah memainkan sebuah musik indah dipiano besar ini. Aku menepuk lembut pundaknya hingga ia menoleh dan tersenyum manis padaku. Namun bayangan itu segera hilang dan tergantikan dengan rasa sakit luar biasa di kepalaku. Saking sakitnya aku terduduk di bawah kursi. Membuat Ayah dan Diana dengan khawatir membopongku ke dalam kamar. Siapa laki-laki itu mengapa aku begitu merindukan paras tampanya? Dalam hati aku masih menggumam.

Senin, 15 juni 2015 ... aku melihat kalender di handphoneku saat mobil yang kutumpangi bersama ayah berhenti tepat di halaman gedung pelatihan musik. Baru-baru ini aku tahu bahwa keluargaku adalah pecinta musik sejati. Dan ayahku adalah salah satu pengajar di kursus musik ini. Aku yang sudah dewasa, merengek seperti anak kecil agar ayah bersedia membawaku ikut bersamanya. Berlama-lama di rumah kelihatanya tidak berpengaruh banyak untuk kesegaran fikiranku.

Sementara menunggu ayah menyelesaikan urusanya, aku mengelilingi luasnya gedung yang didominasi warna biru muda favoritku. Menelusuri lorong-lorong jalan, suasana ini tampak begitu familiar di pandanganku. Sebuah ruangan dengan pintu setengah terbuka, membuatku melangkah menghampirinya. Sebuah piano besar berwarna putih tampak elegan di seberang sana, menggelitik perasaanku untuk segera duduk di depanya. Tanpa sadar jemariku dengan leluasa menari di ata tuts-tuts piano indah ini. Lagu yang tak asing di pndengaranku. Karena terbawa suasana aku mulai menynyikan sebuah lagu.

Heart beats fast

Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt
Suddenly goes away somehow
One step closer

I have died every day
waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more

            Setiap bait dari lagu ini begitu mengena di hatiku. Selintas kenangan muncul lagi di benakku. Aku mendapati diriku bersama dengan seorang pria yang sama pada waktu itu. Dia memainkan piano dengan indah, dan membantu jemari tanganku untuk ikut menari di atas piano ini. Aku melanjutkan nyanyianku yang terus larut dalam permainan pianonya. Suasana yang nyaman dan damai. Tak ada sedikitpun kesedihan yang kulihat di sana. Hanya ada aku dan dia. Tertawa dan saling melempar senyum. Berbahagia ditemani dengan musik yang mengalun merdu. Seperti tak ad jarak diantara kami. Seolah kami tak akan pernah bisa dipisahkan lagi. Namun bayangan itu hilang lagi, dan kepalaku kembali merasakan tekanan. Aku tak dapat menahan air mataku lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah yang mendapatiku sendirian di ruangan musik segera memberika pelukan hangatnya untuk menenangkanku.

            “Mengapa menangis Rin.” Ujar ayah lembut seraya mengusap pelan punggungku dengan khawatir.  Aku tak mampu menjawab, isakanku makin keras terdengar. Sampai sekarang aku masih bertanya pada diriku sendiri? Siapa dia? Siapa laki-laki yang selalu muncul dalam benakku itu. Mengapa aku saat ingin bertemu dengan dirinya?

            Seminggu setelah kejadian itu, aku kini diperbolehkan menyetir mobil. Siang ini, aku ingin pergi membeli kaset dvd band kesukaanku. Tanpa sengaja radio mobilku kembali memutakan lagu a thousand years. Entah mengapa efek lagu itu begitu dahsyat merasuki fikiranku. Seolah kembali teringat  oleh masa lalu. Dimana pada hari itu aku dan seseorang di sampingku terlihat sangat bahagia. Senyum menghiasi wajah kami, yang masih berpakaian ala pasangan yang baru saja menikah. Namun tiba-tiba suara rem kendaraan melengking sangat keras dan benda keras menghantam mobil yang kami kendarai. Aku yang kesakitan tak mampu membalas tatpan sendu suamiku yang juga terluka parah saat itu.

            Bulir-bulir air mata jatuh di pipiku. Mengingat bahwa laki-laki di bayanganku itu adalah suamiku sendiri. Dengan kecepatan tinggi, aku segera mengendarai mobil menuju rumah sakit dan mendapati Resna suamiku masih dalam keadaan koma. Ternyata orang tuaku merahasiakan keadaanya agar ingatanku segera pulih dengan sendirinya.  Dengan sayang kubelai rambutnya yang mulai panjang. Lalu kudekatkan musik piano favoritnya yang pernah kurekam saat dulu memainkan melodi itu bersamanya.

            Aku tak berharap banyak,jika ia akan sadar saat ini. Tapi paling tidak aku bisa memandang dan mengingatnya lagi. Aku akan beranjak pergi dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanya, namun tiba-tiba kurasakan tangan seseorang menahanku. Spontan aku segera menoleh ke belakang. Tak kusangka mata yang sedari tadi tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Jelas kulihat mata coklatnya memandangku penuh cinta dan tak lupa menunjukkan senyum manisnya.

            “Kamu baik-baik saja sayang.” Ucapnya dengan nada serak. Membuatku geleng-geleng kepala mendengar pernyataanya.

            “Kamu masih mengkhawatirkanku, sudah jelas kamu yang hari ini kenapa-kenapa sayang.” Ucapku sembari menggenggam tanganya. Ia tersenyum lebar mendengar ucapanku.

            “Tumben, biasanya kamu paling anti manggil aku dengan panggilan sayang.” Godanya padaku.

            “Sudahlah Res.... Aku mau panggil dokter dulu. Mereka harus memeriksa keadaanmu.”

            “Tidak, aku tak perlu. Melihatmu seperti ini saja, sudah seperti obat bagiku.” Balasnya masih menggenggam tanganku erat, mencegahku pergi.

            “Aresna. ... Pleaseeee.” Ucapku memohon, dan ia menuruti permintaanku dengan senyuman yang menghiasi wajah manisnya.

            “Airin!” Panggilnya lagi. Membuat langkahku terhenti dan kembali menoleh untuk memandangnya.

“Airin ... Istriku ... terima kasih sudah kembali untukku.” Ujarnya lirih dan kubalas dengan mendaratkan kecupan hangat di dahinya. Andaikan dengan musik kita bisa terus seperti ini. Aku akan tetap mengabadikanya. Seperti kamu mengucapkan janji setia di saat pernikahan kita. Dan alunan indah ini akan selalu menjadikan ikatan terindah yang terukir di kehidupan kita berdua. Suamiku...Izinkan aku mengucapkan ini setiap hari saat pertama kali engkau membuka mata. Dan memandang indahnya dunia untuk kau lewati bersamaku ... I LOVE YOU FOR A THOUSAND YEARS... ARESNA LESMANA.. FROM AIRIN DWI LESTARI ... Pendamping Hidupmu ...



  Yah itulah 6 cerpenku yang gagal lolos seleksi. hehehehehe ceritanya jelek ya. Mohon maklum ya penulis pemula. Mohon kritik pedasnya. Oke. Terima kasih sudah mau mengunjungi blog ku. Sampai Jumpa di pos selanjutnya. Keep your spirit. Jangan lupa Bahagia ya :)