Hai.... Sudah lama rasanya tak pernah menulis lagi di blog
kesayanganku ini. Catatan kecil di hari-hari penuh kejutan hehehehehe. Langsung
aja ya..... Beberapa bulan lalu aku lagi gencar-gencarnya suka ikutan event
lomba nulis cerpen yang dibuat antologi bersama. Sayangnya semua karyaku gak
langsung bisa meluncur masuk dengan mulus ke meja penerbitanya. Banyak
yang gagal dan terpaksa hanya bisa jadi cerpen ang kusimpan di document laptop.
Nah..... kali ini aku akan pos beberapa cerpenku yang gak lolos ini.
Hehehehehe semoga para pembaca yang berkenan bisa memberi komentar atau kritik.
Agar kita bisa sama-sama belajar dalam kesalahan kepenulisan. Oke Cekidot.
CERPEN 1
Mawar di Ujung Senja
Sumber gambar : www.digaleri.com
Sudah lima tahun lamanya, aku tak bertemu dengan wanita yang ada
dihadapanku ini. Ia masih tetap sama seperti dulu. Bahkan tak butuh waktu lama,
mataku untuk mengenalinya. Hanya saja ia tampak sedikit lebih berisi. Mungkin
karena ia sudah memiliki 2 buah hati yang kini ikut duduk di sampingnya.
“Run” Ucapku menyentuh lembut pundaknya. Mengagetkanya dari
lamunan.
Entah apa yang ada di pikiran Seruni Laila. Setelah menikah dengan
Pramono, ia menghilang begitu saja dari kehidupanku. Seolah persahabatan yang
ada diantara kita tak berarti lagi di hatinya. Aku menghela nafas panjang, saat
tiba-tiba sebuah pesan masuk.
“Anton Dwi Prayoga, aku tahu aku bersalah. Mungkin di fikiranmu
saat ini. Aku tak tau diri menghubungimu di saat aku membutuhkan bantuanmu.
Tapi kumohon mengertilah ton, aku tidak tahu harus minta bantuan siapa lagi?”
Seruni Laila
Isi sms ini membuatku gembira sekaligus kecewa. Apakah aku siap
menemui Seruni. Bagiku seolah luka lama itu terbuka kembali. Lima tahun belum
cukup bagiku untuk mengubur semua kenangan suram yang kualami. Aku sangat
mencintai wanita ini Aku mengenalnya dari kecil. Bahkan hingga sekarang,
perasaan itu tak pernah kurang suatu apa. Di usiaku yang hampir 30 tahun ini,
aku masih tak mampu berpindah ke lain hati. Dan setelah aku mencoba
melupakanya, kini Tuhan mempertemukan aku lagi denganya.
“Apa yang bisa aku bantu Run?” Ucapku lagi mencoba menenangkan
dirinya. Amarahku seolah mereda dengan sendirinya melihat keadaanya saat ini.
“Aku baru dengar kalau kamu sekarang adalah seorang pengacara.
Maukah kamu membantuku ton. Aku akan bercerai dengan suamiku.” Aku terkejut
mendengar ucapanya.
Antara iba dan bahagia, aku tak bisa mengartikan perasaanku
sendiri. Air mata yang sedari tadi dibendungnya, kini tak mampu lagi ia tahan.
Melihat itu aku tak kuasa lagi ingin menghapus air matanya. Sayangnya, aku tak
berhak melakukan hal itu. Aku bukan siapa-siapa baginya. Ia menyeka air mata
yang membasahi pipinya dan menatapku nanar. Kulihat dua bidadari kecil yang
hanya memandang aku dan Runi secara bergantian dengan heran. Runi memiliki 2
gadis kembar yang cantik. Mengingatkan aku denganya saat kecil. Sungguh mirip
“Hai nona-nona cantik, mau ikut om ke taman bermain. Nanti om belikan
ice cream.”Ucapku sambil meraih tangan mereka berdua. Setengah berbisik aku
berkata pada Runi.
“Kita bicarakan ini di taman, supaya mereka bisa bermain dan tidak
mendengarkan pembicaraan kita.”
Taman bermain sangat ramai di hari Minggu. Tentu saja ini hari
libur. Reva dan Rena 2 gadis kecil Runi tengah asyik bermain sambil memakan ice
cream coklat yang kubelikan. Aku mengajak Runi duduk di sebuah bangku
kecil yang tak jauh dari mereka. Supaya kami berdua bisa mengawasi mereka dari
jauh.
“Ada masalah apa? Kamu sama Pram?” Kataku kemudian. Jujur aku masih
penasaran dengan masalah yang dihadapi Runi.
“Pram, berubah saat mengenal sekertaris barunya ton. Sejak saat
itu, ia berubah kasar dan tak lagi memperhatikan keluarga. Sekarang aku
terancam diusir dari rumahku sendiri. Seluruh kekuasaan atas perusahaan Ayah
sudah jatuh ke tangan Pram.” Jelasnya panjang lebar seraya menahan tangis.
Tanganku mengepal menahan marah. Ingin rasanya kuhajar wajah Pramono tak tahu
diri itu. Aku sudah mempercayakan wanita baik ini untuk menjadi istrinya. Tapi
ia dengan semena-mena menyalahgunakan kepercayaanku ini. Tak terasa tanganku
seolah bergerak dengan sendirinya. Merangkul dan menempatkan kepalanya di
dadaku. Ia membenamkan wajahnya di pelukanku. Isaknya makin keras terdengar,
membuat hatiku semakin pilu dibuatnya.
“Jangan khawatir Seruni, dari dulu sampai sekarang janjiku tetap
sama. Tak akan pernah membiarkanmu menangis.” Ujarku lirih di telinganya. Ada 7
hari lagi, sebelum sidang akhir keputusan pengadilan akan dibacakan. Aku masih
mempunyai waktu untuk membuktikan bahwa Pramono bersalah. Aku bertekad
akan memenangkan masalah ini.
Aku masih antusias dengan wanita berbusana kantor dihadapanku ini.
Matanya sesekali menatapku manja dan tersenyum simpul menanggapi semua ocehanku
yang berusaha menjebaknya. Aku berada di club malam, menghabiskan waktu dengan
sekertaris Pram. Tak butuh waktu lama aku mengenal dan mendekatinya. Ia tipe
wanita yang dengan gampangnya mengobral dusta pada semua lelaki. Aku sengaja
mengajaknya terus meminum alkohol, agar semuanya berjalan sesuai dengan
rencana.
“Aku membenci Pram dari dulu. Kenapa tidak kau batalkan
pernikahanya denganmu.”
“Aku juga membenci bos Pram, ia itu seperti mesin uang bagiku. Aku
tak akan melepaskanya begitu saja. Ia begitu mudah diperdaya. Menelantarkan
anak istrinya dan mengambil alih perusahaan kemudian memilihku. Sungguh sesuai
dengan rencana.” Aku menekan tombol stop pada rekaman yang baru saja ku set 20
menit lalu. Nampaknya semua bukti akan memberatkan Pram
“Hakim memutuskan bahwa saudara Pram bersalah dan tidak berhak
mengambil alih perusahaan milik Nyonya Seruni Laila.” Akhinya terdengar suara
palu tanda keputusan akhir hakim telah ditetapkan. Membuatku bernafas lega.
Pram seolah tak terima dan segera berlalu meninggalkan ruang pengadilan dengan
wajah kesal. Namun tak berapa lama tiba-tiba terdengar suara ribut di luar.
Membuat kami semua berlari ke arah depan. Tak kusangka, seorang Pram langsung
mendapatkan balasan atas apa yang telah diperbuatnya pada Seruni. Ia ditabrak
oleh sebuah mobil. Aku bahkan sempat melihat mobil yang tampaknya sengaja
mencelakakan Pram. Aku ingat mobil ini. Mobil mewah berwarna hitam yang
digunakan sekertaris Pram saat menemuiku di club malam itu. Saira wanita cerdik
dan licik, ia pasti tak ingin Pram menjebloskanya ke penjara.
Seruni sangat khawatir dengan keadaan Pram. Sejak tadi ia
mondar-mandir di depan UGD. Tanpa memperhatikan tubuhnya yang terlihat lemah
dan kucel. Aku bersabar menungguinya di rumah sakit. Meski hatiku masih tak
terima melihat sikap Seruni yang seolah sudah melupakan begitu saja semua
kesalahan Pram. Dokter keluar dari pintu UGD dan segera diberondong dengan
semua pertanyaan mengenai keadaan Pram oleh Seruni. Wajah Dokter terlihat
sangat menyesal mengatakan bahwa Pram akan kehilangan penglihatanya kini.
Seruni hilang keseimbangan sampai akhirnya aku menangkap tubuhnya yang hampir
jatuh. Air matanya tak behenti keluar dari tadi.
“Run, masih pantaskah Pram, mendapatkan kekhawatiranmu kini. Ia
sudah merasakan akibatnya. Biar dia rasakan semua ini Run, tinggalkan dia” Aku
tak tahu perasaan apa yang hinggap di hati Seruni hingga dengan kasar ia
mendorong tubuhku hingga aku jatuh di hadapanya. Lalu ia membentakku kasar.
“Tega, kamu ngomong kayak gitu ton. Mau bagaimanapun dia masih
suami aku. Dia juga korban. Aku mencintainya tanpa syarat dan alasan. Tak
ada syarat untuknya agar dia tidak melukaiku. Tak ada syarat untuknya agar dia
bisa membuatku tersenyum. Tak ada syarat apapun agar dia bisa mejadi suamiku.ton.
Jadi tak ada alasan untukku membalas dendam pada suamiku sendiri.” Balasnya
seraya meninggalkan aku yang masih terperangah dengan semua ucapanya.Hatiku
terasa diiris sembilu mendenga semua penuturan Seruni, seolah pengorbananku
kini tiada arti lagi di hatinya.
Jembatan kota di senja hari, tempat dimana aku bisa melihat
keramaian kota di tengah kesepian. Tempat dimana aku dulu, membuang bunga mawar
yang akan kuberikan pada Seruni , simbol bahwa aku akan melupakanya. Dan
kuharap apa yang akan kulakukan untuk kedua kalinya ini, akan menjadi yang
terkhir bagiku. Karena tak akan ada lagi nama Seruni Laila, aku akan
melupakanya.
“Anton” Tiba-tiba kudengar suara yang familiar di telingaku. Aku
menoleh ke belakang mendapati Seruni yang berlari menghampiriku. Matanya
berkaca-kaca, memandangku dengan penuh harap. Aku hanya diam tak mampu membalas
tatapan matanya.
“Maafkan aku ton, aku tak tau diri.” Ucapnya seraya menyerahkan
buntalan kertas kecil berwarna biru muda yang nampak tak asing bagiku. Perlahan
ku buka isinya.
“Kamu mungkin akan terkejut dengan apa yang aku katakan di surat
ini Run. Aku dan kamu sudah seperti saudara, tapi aku menganggapmu lebih dari
itu. Entah sejak kapan perasaan ini hinggap begitu saja. Entah sejak kapan aku
selalu ingin melindungi dan berada di sampingmu setiap hari. Entah sejak kapan
aku ingin memilikimu dan menjagamu slalu Run. Aku hanya ingin bilang bahwa aku
mencintaimu Run, Aku mencintaimu. Dan aku butuh jawaban darimu?” Aku terkejut
melihat surat yang dulu sengaja aku letakkan di bawah meja Seruni. Saat sebelum
hari kelulusan SMA.
“Aku tak tahu kamu mengirim surat ini ton, Pram yang bilang ia
menyembunyikan semua ini dariku tadi. Ia menyesal ton, dan aku benar-benar
merasa bersalah karena tak pernah menganggapmu selama ini. Kamu sudah berkorban
banyak untukku ton, tapi aku malah.............”
“Sssst.... aku kagum sama kamu Run.” Ucapku menahan perkataanya,
membuatnya memandangku heran.
“Baru seminggu kita bertemu lagi, aku sudah belajar banyak darimu,
cintaku padamu sama dengan cintamu pada Pram, tak butuh syarat dan alasan. Tak
ada syarat untukmu membalas cintaku. Cukup melihatmu bisa bahagia dan
tersenyum, itu sudah cukup bagiku.” Ucapku serya memberikan mawar yang
seharusnya telah berakhir di dasar sungai jembatan ini. Tak kusangka Seruni
memelukku, membiarkanku meski sejenak saja melepaskan rasa rinduku padanya.
“Terima kasih ton”Bisiknya lirih di telingaku. Biarlah senja ini
menjadi saksi hingga matahari terbenam bersama perasaanku terhadapmu. Meski
cintaku akan slalu memberi dan tak pernah mengharap balasmu.
CERPEN 2
Menikahlah Denganku
Sumber Gambar : dewiasrilah.wordpress.com
Seminggu lamanya aku mendambakan hari ini datang. Setelah interview
kerja aku terpilih sebagai satu-satunya orang yang berhak menimba ilmu di
Paris, sebagai designer di sebuah majalah ternama di Jakarta. Dan kini aku
telah sampai di bandara. Dengan semangat membuka lembaran hidup baru, aku
segera berjalan melewati pintu. Namun tiba-tiba seseorang menahan lenganku dari
beakang. Refleks aku berbalik arah dan memandang tajam sosok laki-laki yang
berani mencekal langkahku. Namun pandanganku berubah sendu melihat wajah kecewa
Adipati melihat diriku saat ini.
“Kamu benar-benar ingin pergi lagi Rum. 3 tahun aku masih
menunggumu, setelah Tuhan memberikan kita kesempatan untuk bertemu, kamu ingin
menghindar lagi dariku.” Keluhnya pelan, menghela nafas dan mengalihkan
pandangan. Melepaskan tanganku cepat.
“Kamu tahu, hubungan kita tak akan berhasil Dip. Ibu aku tidak
pernah menyetujui hubungan kita. Dan aku sudah bukan gadis manis yang slalu kau
puja bak dewi dulu. Aku janda Dip. Aku hanya janda yang sudah diabaikan oleh
suaminya sendiri. Aku tidak pantas untukmu.” Ucapku menahan air mataku. Ia meletakkan
kedua tanganya di bahuku, tatapanya lurus memandang sudut mataku yang pasti
sudah tergenang air mata.
“Kamu fikir aku di sini untuk apa Rum. Kamu fikir dari dulu hingga
sekarang hati ini untuk siapa? Bahkan aku tidak pernah mampu menyingkirkan perasaan
ini meski mengetahui kamu telah menjadi istri Doni. Karena aku tahu Doni bukan
yang terbaik buat kamu. Aku yang tulus dan selalu mencintai kamu Rum.” Ucapnya
lagi membuatku hanya mampu menunduk. Pandanganku buram, mataku sudah penuh
dengan air mata. Tidak! Aku tak akan menangis karena cinta lagi. Tanpa sadar
kusingkirkan kedua tangan Adip dengan kasar.
“Aku belum siap jatuh cinta lagi. Aku tidak bisa percaya dengan
lelaki manapun setelah Doni setiap hari menyiksaku dengan tingkah kasarnya.
Bukan hanya hatiku yang terluka karena dia berselingkuh, tapi tubuhku juga
sering dipukulinya Dip. Aku takut merasakan cinta lagi Dip. Aku tidak siap
dengan semua ini.” Balasku cepat tanpa memandangnya, namun dapat kulihat Adip
menggenggam tanganya. Seolah ingin menghajar Doni hingga babak belur di
hadapanku. Namun aku tak ingin peduli dengan semua itu saat ini. Aku segera
beranjak pergi meninggalkanya.
“Apa penantianku hingga saat ini juka akan sia-sia Rum.” Ibanya,
menghentikan langkah kakiku.
“Kunjungi aku di Paris setelah satu tahun, aku perlu memenangkan
diri saat ini.” Balasku sembari cepat melangkahkan kaki menuju impianku.
Aku kembali menguap berkali-kali. Dari tadi malam aku memang tidak
bisa tidur. Tak terasa tinggal menghitung hari aku akan meninggalkan Paris
setelah satu tahun berada di sini. Lamunanku buyar seketika saat seseorang
mengetuk pintu apartemenku. Seorang pngirim barang memberiku sebuket bunga dan
sebuah kotak berukuran sedang. Kucium aroma mawar merah di genggaman. Wanginya
sangat menenangkan. Tak lupa kubaca sebuah surat di dalamnya.
“Aku pernah singgah, namun tak tahu seberapa besar kenangan indah
mampu membawamu.Angin hanya bisa berbisik, mengabarkan keinginanku untuk
menjagamu. Namun hati ini tak akan berbohong, ia akan terus mencarimu,
kemanapun kau pergi. Ia tak pernah berhenti mengharapkanmu.” Perasaanku sejenak
kembali teringat pada Adip. Tak sabar aku membuka sebuah kotak yang didalamnya
berisi sebuah dvd/
Di rekaman dvd itu, tampak kenangan-kenangan indahku dulu bersama
Adipati. Mulai dari foto kebersamaan saat akuulang tahun, saat aku sakit dan ia
dengan sabar merawatku. Bahkan foto-foto yang aku tak pernah tau ia telah
mengambilnya. Di akhir tayangan aku terkejut melihat Ibu dengan tatapan sayunya
seolah melihatku dan berkata.
“Maafkan Ibu Rum, dulu ibu tak menyetujui hubungan kalian. Ibu
malah memaksamu menikah dengan laki-laki temprament seperti Doni. Jangan ragu
untuk mencintai Adipati sekali lagi nak. Ibu tahu dulu kalian getol sekali
untuk bisa menjalin hubungan lebih serius. Jika dulu bisa kenapa sekarang tidak
nak. Ibu merestui kalian, jemputlah kebahagianmu anakku. Arum Diana.” Ucap Ibu
sembari melelehkan air mata. Aku tak mampu membendung air mataku. Terisak
pelan, merenugi kejadian yang kulihat barusan. Apa masih berhak aku mencintaimu
Dip. Apa aku siap menerima konsekuensi jatuh cinta lagi. Sebuah pesan masuk
sedikit mengagetkanku. “Malam ini..... temui aku di Menara Eiffel Arum Diana
jika kamu masih mempercayaiku.”.
Malam begitu pekat. Semilir angin berhembus kencang membelai rambut
ikalku. Hatiku yang telah menuntun kakiku kemari. Dan aku sedang menunggunya.
Aku masih memandangi kondisi sekeliling, hingga seorang badut mickey mouse
menghampiriku. Aku yang tidak sedang dalam keadaan mood senang untuk diajak
bercanda sedikit gusar melihat badut itu terus saja menggangguku.
“Sorry!!!!” Terakku sedikit keras sukses menghentikan aktivitas
kurang kerjaanya itu. Ia lalu membuka penutup kepalanya. Dan menampakkan wajah
manisnya lagi padaku. Cukup sudah! Terlalu banyak aku terkejut hari ini. Badut
itu ternyata Adipati.IA terkekeh pelan mendapati wajahku yang masih sebal.
“Kamu terlihat lebih cantik jika sedang marah. Sudah jangan ngambek
gitu, ayo naik ke atas.” Ucapnya santai, menarik tanganku. Apa dia lupa kalau
aku takut ketinngian.
Semenjak perjalanan menuju ke atap menara Eiffel, aku tanpa sadar
menggenggam keras tangan Adip, membuatnya masih menyimpan senyuman, bahkan
hingga sampai di atas. Tak kusangka rasa takutku hilang seketika tergantikan
dengan panorama indah kota Paris dilihat dari atas sini. Kelap-kelip lampu
gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi langit kota Paris, membuatku
hampir tak mengedipkan mata.
“Gimana......... Indah kan..... Gak takut ketinnggian lagi.”
Ujarnya lirih begitu dekat di telingaku. Ia mengulum senyum dan menghadapkan
posisi tubuhku di depanya.
“Rum. Kamu pasti tahu kan.... aku ingin menyampaikan sesuatu malam
ini. Di puncak menara Eiffel.Seperti impianmu saat SMA dulu.” Ucapnya tegas,
tatapanya penuh tertuju padaku.
“Apa yang ingin kamu katakan.” Tantangku padanya.
“Menihkahlah denganku rum.” Ucapnya singkat, namun tetap dapat
memuat jantung dan perasaanku tak menentu maknanya. Aku kembalimenundukkan
kepalaku, tak bisa membalas tatapan matanya. Tapi ia menyentuh daguku dan
memaksaku untuk tetap memandang wajahnya.
“Jangan menghindar Rum. Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Kamu
membutuhkan cinta baru, untuk pengobat luka hatimu. Dan aku berjanji akan selau
ada untuk membuat hatimu bahagia.” Ujarnya tetap meyakinkanku. Dan seolah ada
perasaan hebat yang membuatku membalas semua peryataanyaa dengan anggukan
pasti.
“Ya...... aku mau menikah denganmu Adipati Nugraha.” Balasku
membuatnya tanpa ragu, menghaburkan pelukan hangatnya padaku. Malam ini biarlah
kota Paris membelai aku dan Adip dengan keindahanya. Membuat kita mengenang
kembali cinta yang pernah tumbuh diantara kita
CERPEN 3
Kaulah Pendamping Hidupku
Sumber Gambar : muslimahtalk.com
Rintik-rintik hujan membasahi dedaunan. Tak ada tanda-tanda
kedatanganya yang kunanti di depan rumah sembari memainkan telepon genggam di
tangan. Hawa dingin tak membuat keringat di tubuhku ini hilang, malah semakin
menjadi. Hatiku sedang gelisah menunggunya. Aku cemas jika ia tak cepat
menunjukkan diri semua orang tidak akan percaya, bahwa Mas Arman
sungguh-sungguh mencintaiku. Dan ingin menjadikanku pendamping hidupnya.
Tak lama saat aku bergumul sendiri dengan fikiranku. Dari kejauhan
kulihat sosok laki-laki bertubuh tegap nampak berlarian kecil menuju teras
rumahku. Rambutnya sedikit cepak, tapi aku sangat mengenali Mas Arman meski
dari kejauhan. Akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega. Melihat parasnya
sedikit demi sedikit terlihat jelas oleh pandanganku. Senyumnya yang manis itu
mengembang, memandangku dengan mesra.
“Darimana saja, mas? Kamu potong rambut.” Ucapku segera
memberondongnya dengan pertanyaan.
“Iya........ maaf lama..... habis masa’ mau bertemu calon mertua
rambutku harus acak-acakan sih.” Balasnya sambil terkekeh pelan membuatku juga
ikut tertawa.
“Sudah datang nak.” Suara ibuku menghentikan keakraban kami berdua.
Melihat hal itu, tanpa dikomando aku segera pergi ke belakang.
“Bu, saya benar-benar ingin melamar anak ibu untuk menjadi
istri dan pendamping saya seumur hidup.” Ujarnya mantap sambil menatap mata
ibuku instens. Ibuku hanya mengangguk pasti melihat kesungguhan Arman.
“Kamu akan berjanji pada ibu nak. Bahwa kamu akan slalu
melindunginya, apaun yang akan terjadi padanya nanti.” Tanya ibuku dengan nada
bergetar.Apa ibu sedang menahan tangis.
“Tentu bu saya tidak akan ra.........” Kata-kata Arman terhenti
saat melihat kakaku Rahma yang tiba-tiba ikut menemuinya, dan duduk di sebelah
ibu. Taapan tajam Kak Rahma seolah mengeksekusinya dalam diam.
“Tapi kenapa aku masih kurang percaya padamu Man. Kamu pernah masuk
bui karena menganiaya orang. Aku tidak bisa janji, jika tiba-tiba adikku nanti
akan ikut menjadi korban.” Kata-kata tajam begitu saja meluncur dari mulut
kakakku membuatnya terperanjat.
“Astaghfirullah kak. Saya begitu karena laki-laki kejam itu akan
memperkosa adik saya, mana mungkin saya diam saja. Sayangnya waktu itu saya
tidak memiliki bukti apapun untuk membela diri.” Balasnya pasrah sambil
mengalihkan pandangan, sakit hati dengan tuduhan kakakku.
“Tapi kamu lihat sendiri, kondisi adikku Randini kan? Dia lumpuh,
dan slalu bertumpu di kursi roda. Apa kamu bisa memberikan perhatian lebih saat
mengurusnya. Dan tidak akan berpaling pada wanita lain karena bosan hidup
dengan dia.”Katanya lagi lebih keras.
Mendengar ucapanya hatiku terasa ngilu. Saraf-sarafku terasa
melemah dan tak mampu kembali tegak. Seolah gemuruh telah menghancurkan benteng
pertahananku. Ya..... Benar..... kecelakaan mobil 2 tahun lalu sudah merenggut
mimpi-mimpiku untuk mampu berlari lebih kencang. Jangankan berlalri,
berjalanpun aku tak mampu menggerakkan kakiku. Aku lumpuh...... dan dokter
berkata kelumpuhan ini akan aku alami seumur hidupku. Keheningan terjadi di
ruang tamu, hanya isakan kecil yang kutahan agar mereka tak menyadari aku
berada di balik tembok.
“Jangan pernah meragukan kesungguhanku kak. Aku sudah melewati satu
tahun menjalin hubungan dengan Randini. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk
mengenalnya. Untuk mencintainya. Dan aku ingin menjadikanya sah sebagai
istriku. Agar aku bisa merawatnya, menyayanginya dan menjadi imam yang akan
slalu menuntun langkahnya. Aku tidak akan pernah meninggalkanya.” Ucapnya tulus
tanpa keraguan. Membuat air mata ibuku yang sejak tadi ia bendung, tumpah
seketika. Kakakku hanya bisa terdiam, meninggalkan Arman dan Ibu dalam
kebisuan.
Sekarang aku di sini bersama Arman di depan teras memandangi tanah
yang basah setelah siraman air hujan tadi.
“Aku ragu bisa menjadi yang terbaik untukmu Mas.” Ucapku berat
“Sssssst..... jangan pernah mengatakan hal tidak penting seperti
itu lagi. Kamu yang terbaik dan akan slalu seperti itu. Kamu yang aku cintai
dan akan slalu seperti itu. Kamu itu indah Din. Sampai kapan kamu tak bisa
menyadarinya. Kecantikan hatimulah yang telah membawa ketulusan perasaanku
padamu. Kamu itu Anugrah Cinta-Nya yang telah Allah berikan sebagai pendamping
hidup setiaku Din.” Jelasnya lagi. Sukses membuat bulir-bulir air mataku jatuh.
Kau juga Anugrah Cinta-Nya yang tak terhingga padaku Mas. Setelah adanya dirimu
aku kembali bisa menikmati nafas hidupku seperti sdia kala. Kamu yang sudah
membangkitkanku dari keterpurukan. Dan aku yakin kekuatan cintamu akan slalu
menuntunku di dalam Jaln yang diridhoi-Nya.
Satu bulan lamanya, aku menunggu-nunggu hari ini tiba. Hari ini
hari pernikahanku dengan Mas Arman. Aku hampir tidak mengenali wajahku sendiri,
melihat sosok cantik di seberang sana yang terbalut hijab berwarna putih dan
kebaya manis berwarna putih pula. Namun aku terkejut melihat sosok lain di
seberang sana, Kakakku kini berada tepat di belakangku, sembari tersenyum tapi
melelehkan air mata. Ia terduduk di depanku dan menangis penuh penyesalan.
“Maafkan kakak Din, di hari itu, kakak tidak bermaksud menyakitimu,
kamu tau sendiri bahwa pernikahan kakak telah gagal di tengah jalan. Kakak
berceri dengan pria yang tega mengkhianati kakak. Jadi........ kakak takut
setengah mati menyerahkan kamu pada Arman.” Ucapnya dengan isakan yang tambah
keras. Aku memeluknya perlahan
“Kak, aku tahu kakak sangat khawatir padaku. Tapi aku tahu Arman
tidak seperti apa yang ada di bayangan kakak. Dia tulus memberikan cintanya
padaku.” I melepaskan pelukanku dan menunjukkan senyum penuh kelegaan. Dan
mengangguk pasti seolah telah menyetujuiku bersama dengan Arman.
”Saya terima nikah dan kawinya Saudari Randini Larasati binti
Darmawanto dengan emas kawin tersebut tunai.” Ucap Mas Arman lantang. Setelah
semuanya menjawab sah, kami berdoa pada Allah dengan rasa syukur yang tak
terhingga telah menyatukan hubungan kami menjadi ikatan suci pernikahan. Aku
mencium tangan suamiku dengan penuh hormat, membuat Mas Arman tanpa ragu
mendaratkan ciuman hangatnya di keningku. Ya Allah aku yakin dialah Anugrah
Cinta yang Kau janjikan padaku.
CERPEN 4
Move On
Sumber Gambar : www.lovethispic.com
Sudah lama aku menantikan waktu ini, memandang denting jam yang memburu. Hari
ini adalah hari dimana aku dan kawan-kawanku menjalani wisuda. Simbol paling
berarti di sejarah pendidikan, bahwa kami telah menempuh perjalanan selama tiga
tahun dalam menimba ilmu. Dari tadi aku tak bisa menyembunyikan sesungging
senyum di sudut bibirku. Mengingat betapa kerasnya perjuanganku selama ini.
Di ruangan ini, suasana riuh para siswa-siswi yang ingin merayakan kelulusanya
berkumpul di tempat ini. Dengan jubah wisuda dan toga di kepala. Ekspresi penuh
kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah mereka masing-masing. Saling
bercengkrama dan tertawa lepas sambil menunggu para orang tua memasuki ruangan.
Tepat di ujung sana, mataku terpaku memandang dua insan saling berbicara dengan
akrab. Aku melihat Risma dengan senyum manis yang disertai lesung pipit saling
beradu pandang dengan Reza. Mereka terlihat asyik mengobrol berdua, tanpa
menghiraukan orang lain di sekeliling mereka. Bahagiaku seolah lenyap seketika,
bergantikan hawa panas yang terasa membakar atmosfir udara di sekelilingku.
“Para wisudawan-wisudawati diharap memasuki ruangan.” Isyarat dari pembawa
acara yang tidak lain adalah Bu Ratna. Kami semua segera memasuki ruangan
secara berurutan. Duduk di kursi masing-masing. Sedangkan aku, tak bisa lepas
memperhatikan Reza dan Risma yang kebetulan juga mendapatkan posisi kursi
berdekatan, membuat mereka tetap bisa nyaman mengbrol sepanjang acara
berlangsung. Teganya kamu Reza, melakukan ini kepadaku. Tapi apa daya di sini
aku hanya bisa cemburu tak jelas. Aku bukan siapa-siapa bagimu. Hanya teman
yang tanpa sadar kau manfaatkan. Hanya teman biasa yang tak bisa menjamah
hidupmu terlalu dalam. Bahkan untuk menatap matamu saja,engkau tak bersedia
mengizinkanku untuk melaukan hal itu.
Teringat masa-masa dulu, saat takdir selalu mempertemukanku dengan Reza, dari
kelas satu hingga kelas tiga. Reza kerap menggangguku dan sering juga
mengabaikanku. Dan aku tentu saja diam-diam merindukan kejahilanya itu.
Ia suka sekali meminta bantuanku, untuk mengerjakan tugas. Dan aku tak pernah
bisa mengelak, saat melihat wajahnya yang memelas itu. Meski aku sendiri juga
tengah disibukkan oleh pekerjaan rumahku sendiri. Ia sangat suka membuat
aku tertawa lepas namun di sisi lain ia juga tak pernah mengetahui bahwa
perilakunya tak jarang menyakiti hati.
Seperti apa yang dilakukanya dulu, saat remed matematika tiba-tiba dilakukan
secara dadakan. Jujur aku tak terlalu mampu di bidang study ini. Aku tak bisa
membantunya, dan ia berpaling pada kawan lain yang ternyata mampu menyelesaikan
soal petaka yang rumit itu. Ia berterima kasih penuh penghormatan pada gadis
yang menjadi dewa penyelamatnya itu tepat dihadapanku. Tanpa menyadari, hatiku
terluka karena tak pernah mendapatkan hal yang sama, meski kerap membantunya.
Jujur itu hal paling konyol yang pernah kufikirkan. Bukan salah Risma
jika ia membantu Reza, tapi hatiku seolah tak terima melihat hal seperti itu
terjadi di depan mataku.
Sejak memiliki perasaan aneh pada Reza, aku mulai sering ngelantur. Merenung
tak jelas dan prestasiku turun drastis. Hari-hari kulalui hanya dengan berharap
agar Reza memperhatikanku atau bahkan hatinya bisa terbuka untukku.
Berangan-angan akan kejadian tak terduga yang mungkin saja kualami bersamanya.
Atau sekadar mencari perhatian yang bagiku sangat tak penting untuk dilakukan.
Dan semuanya sia-sia. Aku melakukan sesuatu hal yang tak berguna. Untuk apa
memperjuangkan orang yang bahkan tak tahu dengan perasaan kita saat ini. Aku
telah mengabaikan kepercayaan yang diembankan ibu padaku untuk menjadi siswa
terpelajar. Aku lupa tujuanku di sini adalah untuk memberi kebanggaan padanya.
Sejak saat itu, UNAS sudah tinggal beberapa bulan lagi. Tak ada kata terlambat
selagi masih ada waktu. Saat itu juga kumanfaatkan waktu yang singkat ini,
untuk memperbaiki semua kesalahanku.
Aku harus berdamai dengan hidup. Aku tak boleh cemburu buta pada Risma atau
bahkan diam-diam memaksakan perasaanku pada Reza. Aku mengabaikan perasaanku
dan belajar bersama dengan mereka. Aku juga berlatih pada Riana yang jago
matematika untuk mengatasi kelemahanku di pelajaran yang dari dulu menjadi
momok bagi para peserta ujian. Tiada hari tanpa belajar, belajar dan belajar.
Tapi saat ini, di hari paling menggembirakan ini, mengapa aku tak bisa
mengendalikan hatiku lagi melihat Risma dan Reza bercengkrama. Apakah di hari
terakhir kita bertemu, kamu tidak ingin menyapaku sekali saja Reza. Aku
merindukan saat-saat bersama denganmu seperti dulu. Aku tak lagi berselera
mengikuti jalanya acara. Kutempelkan headset di telinga dan mendengarkan
channel radio favoritku melalui handphone. Tak sengaja, aku memutar sebuah lagu
yang baru kudengar namun membawa pengaruh besar pada kemantapan hatiku.
Inilah hari yang ku nantikan
Ku tak akan merasa sesal
Lupakan yang tertinggal
Ku siap melangkah
Takkan ku mencintaimu lagi
Cintaku berhenti disini
Tak ada lagi hati Ini saatnya
Move Move On
I'll Move On
Semangatku yang telah padam bagai terbakar lagi, mendengarkan lagu dari finalis
mamamia Margareth yang berjudul move on. Saat tengah asyik menikmati tiap lirik
lagunya meresap di kalbuku. Seseorang dengan kasar mencubit lenganku. Membuat
aku mencopot headset dan hendak memprotes Karina yang matanya melotot ke
arahku.
“Diva mau sampai kapan orang-orang menunggu kamu buat maju ke podium. Dari tadi
Pak Damar memanggil-manggil nama kamu. Eh, kamu malah enak-enakan dengerin
musik.” ucap Karina yang masih tak kumengerti.
“Ke podium?” aku masih bertanya pada Karina.
“Iya Va, kamu terpilih sebagai juara umum tahun ini.” ucapan spontan Karina membuatku
refleks membelalakkan mata. Seolah masih tak menyangka akan apa yang
kudapatkan hari ini, aku melangkah menuju podium diiringi tepuk tangan riuh
kawan-kawanku. Kulihat wajah penuh kebanggan tersirat pada respon ibu yang
masih tak henti memperlihatkan senyumanya padaku. Kutuntun tangan ibu
berjalan bersama naik ke atas panggung.
Diva Anindya Lestari berhak mendapatkan beasiswa ke Jakarta bersama dengan
juara umum yang lain di berbagai daerah ini.” Pak Kepala sekolah mengakhiri
pidatonya, membuatku tak berhenti mengucap syukur.
Hari ini aku benar- benar akan move on. Bukan hanya move on dari Reza. Akan
tetapi move on dengan segala sifat buruk dan kesalahan dalam menjalani
kehidupanku selama ini. Aku akan berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik.
Demi membanggakan ibundaku tercinta dan menggapai sgala cita-cita yang slama
ini kuimpikan.
CERPEN 5
I Hate My Body
Sumber Gambar : whisper.sh
Pagi berselimut kelabu. Awan tebal masih mendominasi langit. Dua mata sayu,
masih menggeliat tak menentu. Memandangi dedadunan kering yang jatuh
berserakan. Hari ini sama seperti biasa. Aku tak berselera menjalani
kehidupanku berikutnya. Ingin rasanya aku hanya bersembunyi di sini. Di tempat
sunyi ini. Di balik jendela yang setia menemani. Kesedirianku kini akan sangat
berarti.
Tapi aku tahu, hal itu tak mungkin terjadi. Meski kebencian dengan semua hal
yang bisa saja kutemui di luar sana. Membuatku resah meninggalkan tempat duduk
ini. Namun aku tak bisa begitu saja menghentikan aktivitas sehari-hari. Dan
akhirnya kaki – kaki ini membawaku ke kamar mandi.
Setelah berbenah serapi mungkin. Aku berjalan menuju kaca yang terletak di
dekat lemari besar. Aku bisa melihat seorang gadis dengan lekukan tubuh datar
tak menarik. Lipatan lemak di sana-sini yang tak enak dipandang. Wajah penuh
jerawat, dan kantung mata yang terlihat jelas karena begadang semalaman. Dialah
aku. Aku yang sama sekali tak diharapkan, bahkan oleh jiwanya sendiri.
Tempat seindah ini rasanya bagai penjara. Yang menghimpit tarikan nafasku
berkali-kali. Aku berjalan dengan langkah gontai, menyusuri lorong sekolah yang
membisu. Keramaian semu ini tak akan mampu membuat hatiku berhenti dengan
kesepianya. Tubuh-tubuh molek yang tengah berbincang sana-sini. Ketawa-ketiwi
dan saling menyapa satu sama lain. Aku membenci senyum mereka. Tawa lepas tanpa
beban yang mereka tunjukkan. Seperti sembilu yang menghujam jantungku tanpa
henti.
Langkahku berlanjut menuju ruang kelas tempatku menimba ilmu.
Rasanya jarak beberapa meter ini menjadi berkilo-kilo jauhnya jika berada di
keramaian. Mata-mata kejam yang melirikku tak bersahabat. Bagai cakar macan
yang mencengkram tubuh dempalku tanpa ampun. Pandangan menghina yang kurasa
tengah mereka tunjukkan padaku. Ingin rasanya aku berlari sejauh mungkin.
Kembali pulang dan duduk di balik jendela.
Pikiranku tak fokus pada buku rangkuman IPA. Semua penjelasan guru
dan nilai-nilainya bagai angin lalu yang lewat begitu saja di telingaku.
Apalagi setelah tanpa sengaja pelajaran kali ini menyinggung masalah berat
badan. Mereka semua tak akan melepaskan begitu saja kesempatan emas ini.
Menodai diriku dengan hujatan. Cacian yang bagi mereka mungkin hanya berarti
candaan ringan. Tapi tak semudah itu jiwaku merangsangnya dengan baik. Respon
hatiku menolak setiap kata yang terluncur mulus dari mulut-mulut mereka.
Batinku terluka, ingin aku menjerit dan berontak tak terima. Tapi yang mampu
kulakukan, hanya menunjukkan senyum tipis. Tanpa komentar yang bermakna.
Berharap mereka tak tahu apa yang kurasa, sehingga tak ada yang menganggapku
manusia lebay. Tak bisa bergaul dan sukar diajak bercanda. Akankah itu yang ada
di benak mereka. Yang kutahu, aku sudah berusaha semampunya.
Dentang bel tanda istirahat berbunyi. Rasa laparku tak mampu
kubendung lagi. Segala yang bisa kumakan sudah kujelajahi. Dan tak ada yang
tersisa dari penyesalan karena sudah menelan sampah-sampah pembawa masalah ini.
Di dalam toilet, aku masih bisa memandang bayanganku sendiri di depan kaca,
berteriak kasar menyiksaku dengan kata-kata jahatnya.
Tanpa basa – basi, segera kumasukkan dua jariku ke tenggorokan.
Berharap semua makanan itu kembali dan tak memenuhi lambung di badan. Lama
sekali... tapi tak ada jawaban. Perutku yang tak tahu diri ini pasti
sudah menelanya tanpa pertimbangan. Aku tak menyerah dan terus memaksa. Agar
semuanya segera tumpah di hadapanku. Dan berhasil, makanan-makanan yang kini
tak berbentuk itu dengan sukses keluar dari mulutku. Aku tersenyum lega
melihatnya. Rasa sakit menjalari tenggorokan yang tanpa belas kasih kupaksa
memuntahkan semuanya. Aku menangis tertahan, memandangi diriku yang bersimbah
peluh di depan kaca. Hari ini aku sungguh tak berdaya.
Di dalam kamar ini, aku hanya sendiri. Kesendirian adalah hadiah
terindah yang kunikmati saat ini. Namun kenangan-kenangan buruk itu masih
terekam jelas, dan tak mampu hilang dari fikiranku. Aku benci tubuhku. Dari
dulu dan akan selalu begitu. Mengapa usahaku untuk bisa ideal seperti nona-nona
cantik lainya selalu saja gagal. Mereka bisa mendapatkan semua yang diinginkan.
Cinta, harapan, impian. Sedangkan aku, berakhir dengan keterpurukan yang mendalam.
Aku juga ingin seperti artis terkenal pujaanku. Cantik, indah,
rupawan, dan mempesona. Yang kini fotonya tengah kupandangi dengan binar air
mata. Kemolekan tubuhnya membuatku frustasi saat kornea mataku beralih
memandang tubuh tambunku ini. Andai saja dia bisa disakiti agar mau
menuruti sgala perintahku.
Entah setan apa yang sudah merajai hati. Tanpa sadar kutorehkan
guratan-guratan luka di sekitar tanganku. Melihat darah yang mengalir rasanya
puas, seolah dendamku terbalaskan. Namun hatiku masih mengingikan yang lebih.
Mataku melirik lipatan-lipatan lemak di perutku yang besar. Membuatku ingin
membalaskan sakit hatiku juga di sana. Namun sebuah tangan, tiba-tiba mencegah
pergerakanku. Pandangan mataku bertemu dengan dua matanya yang sudah digenangi
air mata. Ia memelukku dalam diam. Kakakku yang slama ini hilang. Aku terkejut
dia pulang dan melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku merasa malu dan putus
asa. Aku sadar apa yang kulakukan ini tak normal. Kini aku hanya bisa menangis
sejadi-jadinya dalam pelukan kakakku tercinta. Entah apa yang akan terjadi
nanti, dan setelah ini. Sekarang aku hanya ingin menangis, tanpa memikirkan
apa-apa lagi.
CERPEN 6
I LOVE YOU FOR A THOUSAND YEARS
Sumber Gambar : story-of-arindapramesti.blogspot.com
Bola
mataku menjelajahi seisi ruangan serba putih ini. Semakin aku mencari sebab
kejadianya, mengapa aku bisa ada di sini? Membuat nyeri di kepalaku tak
tertahankan lagi. Aku menyerah, dan lebih memilih untuk beristirahat. Tiduran
sambil memandangi langit-langit rumah sakit. Merenungi nasibku sendiri. Dokter
bilang, aku mengalami amnesia. Kecelakaan dahsyat memporak porandakan
ingatanku. Bahkan namakupun aku tak mengingatnya. Yang kurasakan kini hanya
kebingungan dan nyeri di sekujur tubuhku yang didominasi perban.
Hari ini, adalah hari yang menyenangkan. Setelah hampir seminggu
aku sadar dari koma panjangku. Berada di ruangan rumah sakit yang tercium
menyengat bau obatnya membuat kepalaku tambah pening. Itu sebabnya aku begitu
getol ingin segera pulang. Ayah dan Ibuku yang nampak tak setuju dengan alasan
masih mengkhawatirkan keadaanku, akhirnya memilih untuk mengikuti kemauan anak
semata wayangnya ini.
Kuhirup udara segar di
belakang rumah sepuas-puasnya. Kurasakan hawa sejuk memenuhi rongga dadaku.
Semilir angin sore menyempurnakan kelegaan hatiku saat ini. Di tengah asyiknya
diriku menikmati keheningan, terdengar alunan syahdu suara musik yang berirama
kencang. Mengalun begitu saja di telingaku.
Rasa penasaran memaksa kakiku untuk terus melangkah mencari sumber
suara itu. Dan kudapati Ayah dan Diana keponakanku sedang berduet memainkan
piano. Aku yang tertarik dengan aktivitas mereka, mencoba berjalan semakin
dekat bahkan aku kini di samping Diana dan menyentuh lembut piano besar
berwarna hitam ini. Tiba-tiba sekelebat bayangan seolah hadir di fikiranku.
Ingatanku melayang tepat di depan piano ini. Kulihat seorang gadis yang
ternyata adalah aku sedang berdiri di samping seorang pria yang tengah
memainkan sebuah musik indah dipiano besar ini. Aku menepuk lembut pundaknya
hingga ia menoleh dan tersenyum manis padaku. Namun bayangan itu segera hilang
dan tergantikan dengan rasa sakit luar biasa di kepalaku. Saking sakitnya aku
terduduk di bawah kursi. Membuat Ayah dan Diana dengan khawatir membopongku ke
dalam kamar. Siapa laki-laki itu mengapa aku begitu merindukan paras tampanya?
Dalam hati aku masih menggumam.
Senin, 15 juni 2015 ... aku melihat kalender di handphoneku saat
mobil yang kutumpangi bersama ayah berhenti tepat di halaman gedung pelatihan
musik. Baru-baru ini aku tahu bahwa keluargaku adalah pecinta musik sejati. Dan
ayahku adalah salah satu pengajar di kursus musik ini. Aku yang sudah dewasa,
merengek seperti anak kecil agar ayah bersedia membawaku ikut bersamanya.
Berlama-lama di rumah kelihatanya tidak berpengaruh banyak untuk kesegaran
fikiranku.
Sementara menunggu ayah menyelesaikan urusanya, aku mengelilingi
luasnya gedung yang didominasi warna biru muda favoritku. Menelusuri
lorong-lorong jalan, suasana ini tampak begitu familiar di pandanganku. Sebuah
ruangan dengan pintu setengah terbuka, membuatku melangkah menghampirinya.
Sebuah piano besar berwarna putih tampak elegan di seberang sana, menggelitik
perasaanku untuk segera duduk di depanya. Tanpa sadar jemariku dengan leluasa
menari di ata tuts-tuts piano indah ini. Lagu yang tak asing di pndengaranku.
Karena terbawa suasana aku mulai menynyikan sebuah lagu.
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt
Suddenly goes away somehow
One step closer
I have died every day
waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
Setiap bait dari lagu ini begitu mengena di hatiku. Selintas kenangan muncul
lagi di benakku. Aku mendapati diriku bersama dengan seorang pria yang sama
pada waktu itu. Dia memainkan piano dengan indah, dan membantu jemari tanganku
untuk ikut menari di atas piano ini. Aku melanjutkan nyanyianku yang terus
larut dalam permainan pianonya. Suasana yang nyaman dan damai. Tak ada
sedikitpun kesedihan yang kulihat di sana. Hanya ada aku dan dia. Tertawa dan
saling melempar senyum. Berbahagia ditemani dengan musik yang mengalun merdu.
Seperti tak ad jarak diantara kami. Seolah kami tak akan pernah bisa dipisahkan
lagi. Namun bayangan itu hilang lagi, dan kepalaku kembali merasakan tekanan.
Aku tak dapat menahan air mataku lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah yang
mendapatiku sendirian di ruangan musik segera memberika pelukan hangatnya untuk
menenangkanku.
“Mengapa menangis Rin.” Ujar ayah lembut seraya mengusap pelan punggungku
dengan khawatir. Aku tak mampu menjawab, isakanku makin keras terdengar.
Sampai sekarang aku masih bertanya pada diriku sendiri? Siapa dia? Siapa
laki-laki yang selalu muncul dalam benakku itu. Mengapa aku saat ingin bertemu
dengan dirinya?
Seminggu setelah kejadian itu, aku kini diperbolehkan menyetir mobil. Siang
ini, aku ingin pergi membeli kaset dvd band kesukaanku. Tanpa sengaja radio
mobilku kembali memutakan lagu a thousand years. Entah mengapa efek lagu
itu begitu dahsyat merasuki fikiranku. Seolah kembali teringat oleh masa
lalu. Dimana pada hari itu aku dan seseorang di sampingku terlihat sangat
bahagia. Senyum menghiasi wajah kami, yang masih berpakaian ala pasangan yang
baru saja menikah. Namun tiba-tiba suara rem kendaraan melengking sangat keras
dan benda keras menghantam mobil yang kami kendarai. Aku yang kesakitan tak
mampu membalas tatpan sendu suamiku yang juga terluka parah saat itu.
Bulir-bulir air mata jatuh di pipiku. Mengingat bahwa laki-laki di bayanganku
itu adalah suamiku sendiri. Dengan kecepatan tinggi, aku segera mengendarai
mobil menuju rumah sakit dan mendapati Resna suamiku masih dalam keadaan koma.
Ternyata orang tuaku merahasiakan keadaanya agar ingatanku segera pulih dengan
sendirinya. Dengan sayang kubelai rambutnya yang mulai panjang. Lalu
kudekatkan musik piano favoritnya yang pernah kurekam saat dulu memainkan
melodi itu bersamanya.
Aku tak berharap banyak,jika ia akan sadar saat ini. Tapi paling tidak aku bisa
memandang dan mengingatnya lagi. Aku akan beranjak pergi dan memanggil dokter
untuk memeriksa keadaanya, namun tiba-tiba kurasakan tangan seseorang
menahanku. Spontan aku segera menoleh ke belakang. Tak kusangka mata yang
sedari tadi tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Jelas kulihat mata
coklatnya memandangku penuh cinta dan tak lupa menunjukkan senyum manisnya.
“Kamu baik-baik saja sayang.” Ucapnya dengan nada serak. Membuatku
geleng-geleng kepala mendengar pernyataanya.
“Kamu masih mengkhawatirkanku, sudah jelas kamu yang hari ini kenapa-kenapa
sayang.” Ucapku sembari menggenggam tanganya. Ia tersenyum lebar mendengar
ucapanku.
“Tumben, biasanya kamu paling anti manggil aku dengan panggilan sayang.”
Godanya padaku.
“Sudahlah Res.... Aku mau panggil dokter dulu. Mereka harus memeriksa
keadaanmu.”
“Tidak, aku tak perlu. Melihatmu seperti ini saja, sudah seperti obat bagiku.”
Balasnya masih menggenggam tanganku erat, mencegahku pergi.
“Aresna. ... Pleaseeee.” Ucapku memohon, dan ia menuruti permintaanku dengan
senyuman yang menghiasi wajah manisnya.
“Airin!” Panggilnya lagi. Membuat langkahku terhenti dan kembali menoleh untuk
memandangnya.
“Airin ... Istriku ... terima kasih sudah kembali untukku.” Ujarnya
lirih dan kubalas dengan mendaratkan kecupan hangat di dahinya. Andaikan dengan
musik kita bisa terus seperti ini. Aku akan tetap mengabadikanya. Seperti kamu
mengucapkan janji setia di saat pernikahan kita. Dan alunan indah ini akan
selalu menjadikan ikatan terindah yang terukir di kehidupan kita berdua.
Suamiku...Izinkan aku mengucapkan ini setiap hari saat pertama kali engkau
membuka mata. Dan memandang indahnya dunia untuk kau lewati bersamaku ... I
LOVE YOU FOR A THOUSAND YEARS... ARESNA LESMANA.. FROM AIRIN DWI LESTARI ...
Pendamping Hidupmu ...
Yah itulah 6 cerpenku yang gagal lolos seleksi.
hehehehehe ceritanya jelek ya. Mohon maklum ya penulis pemula. Mohon kritik
pedasnya. Oke. Terima kasih sudah mau mengunjungi blog ku. Sampai Jumpa di pos
selanjutnya. Keep your spirit. Jangan lupa Bahagia ya :)