Di
kesempatan ini izinkan saya membagikan sebuah cerpen yang pernah saya posting
di wattpad sebelumnya. Jika terdapat waktu
luang, silakan kunjungi wattpadku . Semoga
semua berkenan untuk membaca :)
Sa’at
Adrian Datang
You as
Alia Dafa Nadya
Giorgino
Abraham as Adrian Pratama Sadega
Ira
Wibowo as Marina Larasati (Mama Adrian)
Putri
Titian as Tania Sanjaya
Febby
Rastanti as Sani Dwi Lestari
Surya
Saputra as Arman Danu Wijaya (Trainer)
Raffi
Ahmad as Rafli Sanjaya (Paman Adrian)
Haykal
Kamil as Raka Darya Madana
Lagu
:
Blink_Sendiri
Lagi
Demi
Lovato_Skyscrapper
Christina
Perry_A Thousand Years
Lyla_Lebih
Dari Bintang
Hehehehe
buat enjoy aja ngayal ndiri????
Seperti mimpi rasanya saat Tania tiba-tiba saja duduk di sampingku. Menyapaku
dengan seulas senyum manisnya, yang telah menaklukan hati para cowok seantero
sekolah.
“Hai Alia, sendirian aja.” Kurasakan tangan halusnya menepuk pundakku
“Tania?” Ucapku setengah sadar, menatap mata sayunya yang tampak
sempurna dengan style rambut berponi miliknya.
“Kau tampak slalu
melamun, bukankah lebih baik kau bergabung dengan yang lain.” Ujarnya seraya
menunjuk ke arah sekumpulan kawan-kawanya di ujung ruangan, entah apa yang
mereka obrolkan, nampaknya bahasan yang cukup menarik hingga membuat mereka
larut dengan canda dan tawa.
Yah..................aku memang suka dengan duniaku
sendiri. Khayalan dan lamunanku yang entah sampai mana akan terus melambung
jauh. Berada di tengah kerumunan orang membuatku tak nyaman, bisa dibilang aku
cewek pendiam dan sukar bergaul. Mungkin aku minder dengan faktor fisik. Tubuh
bulat dengan tinggi tak seberapa. Kacamata tebal dan kulit hitam kusam yang tak
terawat, semakin lengkap dengan koleksi jerawat yang sangat menggemari wajahku
ini. Ditambah dengan tingkah yang kikuk dan otak yang g’ seencer murid-murid
jenius lainya, tampak benar-benar pantas julukanku sebagai cewek jelek dan
aneh. Itu sedikit menyebalkan....................
“Emmm, aku di sini aja ya Tan, aku lagi ngerjain tugas
nih,”Balasku seraya membetulkan letak kacamata. Tania, cewek yang sangat
sempurna, selain pandai dan berwajah menarik, hatinya pun melukiskan parasnya
yang indah. Tak salah jika banyak cowok yang setengah mati naksir padanya.
“Teng teng teng teng”
“Eh udah bel pulang tuh, sekalian aja pulang bareng.”
“Dasar bel tidak diuntung”Kutukku dalam hati, kenapa baru
datang sekarang, setelah kutunggu begitu lama, mengapa muncul di waktu yang tak
tepat. Aku kembali memutar otak, mencari alasan yang tepat untuk kembali
menolak ajakan Tania.
“Sekali lagi ma’af Tan, aku masih ada perlu sama Bu Ranti,
jadi aku g’ bisa langsung pulang.”
“Owh gitu, sayang banget, ya udah aku pulang dulu ya?”
Seperti kupu-kupu yang terbang meninggalkan bunga tidak bermadu, Tania
melambaikan tanganya padaku, berlalu secepat angin pergi dengan kawan-kawanya
yang lain.
“Akhirnya ku sendiri lagi setelah lewati hariku
denganya.” Kuhela nafas panjang sambil masih asik bersenandung lagu favoritku
“Sendiri lagi”. Melangkah gontai dihadapan pos satpam dengan topeng senyum
palsu aku sibuk menyapanya yang tak pernah lupa bersikap ramah. Tiba-tiba aku
tersentak melihat laki-laki setengah baya, berdiri tak jauh dari pintu gerbang.
Sepertinya ia tengah menunggu seseorang. Tapi bukanya hanya tinggal aku yang
belum pulang. Tak ingin membuang waktu untuk sesuatu yang bukan urusanku. Aku
bergegas melanjutkan langkahku. Namun hatiku mulai was-was meyadari laki-laki
itu membuntutiku dari belakang. Dengan segenap keberanian aku berbalik arah dan
bersiap meluncurkan serangan. Wajahnya yang terutup helm membuatku semakin curiga.
“Eh siapa kamu?” Bentakku gelisah, seraya melayangkan
tas ranselku ke arahnya.
“Eh tunggu tunggu, aku g’mau berlaku jahat koq.” Ia
mulai bersuara dan membuka helmnya.
Aku tersentak melihat wajah itu. Wajah yang mungkin
bukan hanya aku yang mengenalnya tapi seluruh orang yang biasa menonton
acaranya. Dia Adrian, aktor yang kini namanya tengah naik daun, karena
membintangi salah satu sinetron remaja. Parasnya yang ganteng membuatnya
digemari gadis-gadis atau bahkan ibu-ibu dapat dengan mudah menjadi fans
beratnya. Namun tidak denganku. Dulu aku memang penggemar beratnya tapi karena
suatu hal, semua persepsiku padanya berubah. Sebuah kejadian menyebalkan
terjadi beberapa hari yang lalu.
Aku mendengar kabar ia akan mengadakan tour dan datang ke kota ini.
Dengan semangat aku berangkat sendirian menuju gedung yang akan digunakanya
untuk jumpa fans. Tapi sa’at berangkat, aku mendapati sebuah mobil tak tau diri
membuat baju favorit yang sengaja kubeli untuk bertemu Adrian, kotor tersiram
air lumpur bekas hujan. Dan yang membuatku tak kalah jengkel adalah pengendara
mobil itu yang ternyata seorang Adrian. Tanpa kata ma’af sedikitpun ia memakiku
kasar.
“Eh, cewek jelek lihat-lihat dong kalo jalan, kalo
ketabrak gw lagi yang disalahin,”
Kata-kata itu masih terekam jelas dalam memori otakku hingga kini.
“Hei! Loe g’ pa pa kan.” Ucapnya tiba-tiba menyentuh
bahuku, membuat lamunanku buyar seketika.
“Mau apa kamu ke sini!” Balasku kasar, menampik keras
tanganya yang sejenak singgah di bahuku.
“Loe masih marah sama gw, gw minta ma’af deh.”
“Kamu kenal sama aku” Tanyaku bingung
“Loe kan cewek yang kena siram mobil gw di trotoar waktu
itu, yang hampir gw tabrak.”
Aku tertegun mendengar penuturanya.Jadi Adrian dapat
mengenali wajahnya sa’at itu.
“Owh! Syukur deh cowok sombong kayak kamu udah sadar
dan mau minta ma’af, kalau urusanya udah selesai, aku mau pulang.” Ujarku
bergegas pergi meninggalkanya.
“Eh tunggu! Gw butuh bantuan loe.” Cegahnya seraya
memegang tanganku
“Apa’an sih! Dasar cari kesempatan.” Aku kembali
menampik tanganya yang menyentuh sembarangan.
“Ge-Er banget sih loe, siapa juga yang seneng megang
tangan cewek jelek kayak loe.” Lagi-lagi tabiat buruknya muncul, membuatku
teringat lagi dengan kejadian kemarin
“Tuh kan, omongan kamu kayak gitu lagi.Aku pergi nih”
“Eh jangan-jangan, iya gw minta ma’af banget sama loe,
sekarang gw bener-bener butuh bantuan loe." Ucapnya dengan wajah melas
“Oke deh, karena aku orang baik. Aku bersedia bantu
kamu.” Kataku sembari menjetikkan jari di depan wajahnya.
“Dari tadi kek setujunya, kalo gitu cepet ikut gw.”
“Kemana?”Tanyaku heran
“Udah ikut aja.” Setelah berkata demikian, ia segera
menaiki motor besarnya.
“Eh koq loe diam aja.” Ucapnya tak sabar melihatku
yang hanya melongo melihat motor kerenya.
“Aku naik ini.” Ucapku dengan wajah culun menunjuk ke
arah motornya
“Ya iyalah, ayo cepetan.”
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menuruti
perintahnya.
“lo, mau makan apa?” Ia kembali berucap sa’at melihat
buku menu di depanya. Aku hanya melihat sekeliling restoran mewah yang seumur
hidup baru kukunjungi.
“Eh, aku minum es teh aja.” Jawabku sedikit enggan dan
tak nyaman.
“Simple banget sih pesenan loe, gw beli’in jus aja
ya.” Iaki-laki itu tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkahku yang mungkin
konyol. Senyuman yang baru kulihat sejak pertemuanku denganya.
“Terserah kamu deh.” Ia kembali tertawa dan menutup
buku, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ia memanggil
salah satu pelayan.
“Sebenarnya kamu mau minta bantuan apa sih.” Tanyaku
tak sabar melihatnya yang seolah lupa dengan tujuan utama.
“Owh iya, gw hampir aja lupa.” Ujarnya sibuk dengan
steak pesananya. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri layaknya seseorang yang
hendak menyebrang jalan, setengah berbisik ia mengatakan sesuatu padaku.
“Aku butuh bantuan loe, untuk jadi pacar sewa’an gw.”
“Ha?????????” Aku hampir tersedak dan jantungku pasti
sudah loncat jika aku tak memegangi dadaku waktu itu.
“Sssssssssst lebay banget sih lo, jangan
berisik.”Sentaknya kesal seraya kembali memperhatikan orang – orang di
sekeliling ruangan, berharap tak satupun dari mereka mendengar apa yang sudah
dikatakanya barusan.
“Kamu pasti salah orang, aku punya temen yang
1000% lebih cantik buat kamu jadi’in pacar buatan.” Ia menghela nafas
sejenak, kembali menyentuh makanan, seolah mengacuhkanku. Kubiarkan saja
tingkahnya, hingga ia berhenti dan menatap tajam mataku. Ia melakukanya lagi
tersenyum tanpa sebab.
“Gw memang mencari orang yang seperti loe,bukan orang
yang cantik raganya.”
“Maksudmu?” Aku hampir tersentuh mendengar
pengakuanya, batinku mengira bahwa hanya dia-lah anak adam yang mampu menyadari
bahwa wanita tak hanya dilihat dari parasnya namun kesucian hatinya.
“Nyokap meginginkan gw berpacaran dengan seorang cewek
jelek, dia bilang gw harus belajar arti kesederhana’an yang sebenarnya. Dan
semenjak gw berdiri di depan sekolah loe, cuman loe cewek yang paling jelek
dari lainya.” Ujarnya tanpa dosa tertawa jahat.
“Dasar kurang ajar! Jujur banget sih.” Aku kembali
sebal memandang ke luar jendela,
“Jadi gimana loe mau g’ bantu gw.” Tanyanya penuh
harap sambil meremas garpu di tangan, mungkin dalam hatinya ia mulai gelisah.
“Aku mau bantu kamu, tapi dengan satu syarat.” Ucapku
masih memandang ke arah jendela.
“Hah! Ternyata cewek kayak loe, bisa matre juga!”
Ujarnya seraya melahap makanan.
“Enak aja, aku bukan cewek matre yang ingin uang
banyak!!!” Balasku dengan keras, menyita pandangan beberapa orang di sekitar
meja. Kini aku berbalik menatapnya, bagai tak gentar melawan sorotan matanya
yang lebih tajam.
“Lalu” Lanjutya seolah memberiku pilihan.
“Aku ingin kurus.” Lanjutku ragu sambil takut-takut
menatapnya, menunggu respon dari wajahnya yang sok ganteng itu.
“Haaaah!!! Loe mau sedot lemak.” Balasnya lebih keras
dari bentakanku tadi. Bahkan aku hampir melonjak dari tempat dudukku, saking
malunya aku dengan orang-orang yang mulai berbisik aneh memperhatikanku. Tanpa
segan kupukul keras kepalanya dengan sendok.
“Sakit tauk, kriminal banget sih lo jadi cewek. Dasar
preman!!!” Ia tak henti-hentinya mengutukku dengan kata-kata kejamnya itu.
“Habis, kamu keras banget sih bilangnya, sengaja ya?.”
“Hehehehe sorry sorry gw reflek.” Ia tertawa keras
layaknya seorang pemenang.
“Lagipula aku mau kurus secara alami.” Ujarku kembali
berkata serius.
“Gimana caranya, emang gw ibu peri yang bisa kabulkan
permintaan sulit kayak gitu.” Katanya seraya mengangkat tangan serta
melambaikan sendok bagai ibu peri yang tengah melambaikan tongkat.
“Kamu bisa sewa trainer, jika dengan paksa’an aku
pasti bisa kurus, please, aku udah benci banget dengan keadaan ini. Aku ingin
mengubah hidupku setelah satu impian itu dapat terwujud. Cuma kamu satu-satunya
harapanku.” Ucapku mengiba. Tampaknya ia luluh pula dengan perkata’anku. Ia
tampak berpikir sambil memutar-mutar sendok seolah tengah menimbang-nimbang
sesuatu.
“Oke gw setuju, asalkan loe juga setuju untuk bantu
gw, sama kayak rencana awal” Akhirnya ia berkata juga setelah dengan
harap-harap cemas aku menunggu, sungguh jawaban yang sangat memuaskan.
“Tanpa ragu lagi, aku jawab sangat setuju.”
“Deal?” Ujarnya mengajakku berjabat tangan sebagai
syarat terjadinya sebuah perjanjian.
“Deal.” Balasku puas, membuat kami tersenyum
bersama-sama.
Hari ini hari minggu, masih terlalu pagi untuk
menerima telepon tak sopan yang sejak tadi sudah meraung-raung membuatku kesal.
“Siapa sih” Ucapku dengan mata yang masih terpejam
seraya meraba-raba mencari handphone.
“Halo, siapa sih pagi-pagi udah telepon.” Bentakku
kasar tanpa tahu siapa orang di seberang sana yang tengah mengajakku berbicara.
“Eh, loe yang darimana aja tadi, masih molor ya? Cepet
bangun, gw tunggu di perempatan deket rumah loe, eh jangan lupa pakek baju
olahraga, dan g’pakek lama. Udah! gw tutup dulu ya?” Ujarnya tak kalah
kasarnya denganku, berkata panjang lebar layaknya pak guru killer yang mengajar
pelajaran
“Eh tunggu tunggu!! Kamu siapa sih, seenaknya aja
nyuruh aku.”
“Katanya loe mau kurus, gimana sih? Gw ibu peri yang
mau ngewujudin mimpi loe itu.” Mataku yang sedari tadi merem sampai terbelalak
saking kagetnya, Adrian ngajak aku jogging pagi itu.
“Adrian, oke g’ sampai 5 menit aku akan ke sana tunggu ya?” Kataku
lagi, setelah menutup telepon, aku bergegas bangkit dan mencuci muka, lalu
berganti baju olahraga dan training yang biasanya hanya kupakai sa’at pelajaran
olahraga di sekolah. Tanpa menunggu lama lagi aku segera berlari menuju tempat
tujuan.
Akhirnya tampak pula perempatan jalan yang disebut
Adrian. Disana tampak olehku Adrian yang tengah bersandar di depan tembok
bercat biru muda. Ia terlihat keren dengan model baju dan celana training hitam
dengan topi yang melekat di kepalanya.
“Adrian!!” Spontan aku melambaikan tangan ke arahnya.
“Yaelah lama banget sih, katanya g’ sampe’ 5 menit, nih udah lebih
dari 10 menit.”
“Masa’ sih. Aku kan udah lari dari rumah sampai sini.” Ucapku
sambil memperhatikan jam yang melingkar di tangan.
“
Ya udah deh, sekarang kita mulai joggingnya keliling desa.”
“Yang benar aja, bisa pingsan aku Adrian.” Aku keberatan jika harus
jogging sejauh itu, dari rumah hingga perempatan saja segini capeknya, apalagi
satu kampung.
“Niat kurus g’ sih loe” Balasnya seraya berlari duluan mengacuhkan keluhanku.
“Eh tunggu Adrian.” Terpaksa aku segera kembali berlari menyusulnya.
Sudah hampir satu jam Adrian tak kunjung berhenti, hingga aku tak
kuat lagi dan jatuh karena kepayahan mengikuti kecepatanya dari belakang.
Mungkin ia menyadari ketidakhadiranku di balik punggungnya, hingga samar-samar
kulihat ia yang tadi meninggalkanku, kini berbalik arah dan mendapatiku yang
sudah tak kuat lagi berdiri.
“Ternyata loe di sini, koq duduk ayo terusin lagi.”
“Ma’af Adrian aku g’ kuat lagi.” Ujarku terengah-engah seraya masih
mengambil nafas panjang, karena kehabisan oksigen. Tampaknya ia iba juga
melihatku dengan keringat bercucuran. Ia tiba-tiba duduk di dekatku, seolah
mengerti ketidakmampuanku untuk melanjutkan lagi.
“Ma’afin gw juga, seharusnya gw g’ terlalu maksa loe. Nih minum
dulu.” Katanya sambil meyerahkan sebotol air mineral kepadaku. Aku segera saja
menghabiskanya, hingga tersisa setengah botol.
“Eh, ma’af Adrian, aku lupa sisa’in buat kamu, nih” Ucapku sedikit
malu menyerahkan botol itu lagi padanya. Ia hanya tertawa kecil sambil
mengeluarkan sesuatu dalam tas kecilnya. Tanpa kusadari, ia mengelap wajahku
dengan handuk berwarna hijau itu dengan tanganya, dengan masih menyimpan
sesungging senyum di bibirnya, memperhatikan peluh di dahiku. Aku sedikit segan
pula dengan sikapnya itu.
“Nanti siang, loe datang lagi ke perempatan ini ya, gw akan ajak
loe ketemu trainernya, tapi ingat, loe harus lebih semangat lagi, soalnya
latihan dengan trainer akan lebih berat dari jogging ini.” Jelasnya kembali
memasukkan handuk kecil itu ke dalam tasnya.
“Siap bos” Jawabku enggan isyarat hormat. Membuatnya tertawa pelan.
Semua yang dikatakan Adrian benar, latihan dengan trainer,
membuatku frustasi. Aku kerap kelelahan, karena belum terbiasa dengan semua
kegiatan yang terlalu melelahkan. Kini telah 1 minggu aku menjalani latihan,
waktu yang ditunggu-tunggu untuk menentukan apakah semua yang aku lakukan
selama 7 hari ini tak sia-sia. Dengan takut-takut aku naik ke atas timbangan,
sedikit ragu aku tak yakin melihat hasil yang akan memuaskan di depan jarum
timbangan.
“2 kilogram. Kamu berhasil turun 2 kilogram” Ucap si trainer dengan
wajah tenang
“Cuma 2 kilogram, selama satu minggu ini aku latihan keras, dan
Cuma turun segitu.” Ucapku putus asa, sambil memandang Adrian dengan wajah
panas.
“Aliya, turun segitu udah ideal koq, lagian masih seminggu, mana
bisa langsung turun 10 kilo, semua itu butuh proses.” Jawabnya mencoba
meyakinkanku. Aku hanya bisa mengangguk mendengar penjelasanya. Dengan langkah
gontai aku mendahuluinya ke luar dari tempat Gym.
Aku benar-benar kecewa dengan hasilnya, karena bagiku, aku tlah
berusaha keras melakukan semuanya, jogging, sit up ataupun push up dan latihan
– latihan lain serta menahan nafsu makan yan setengah mati membuatku tertekan,
tak kusangka akan seberat ini menurunkan berat badan. Aku benar-benar lelah.
“Eh, ngelamun aja, masih mikirin yang tadi ya.” Tiba-tiba Adrian
datang mengejutkanku dari belakang.
“Enggak koq, aku percaya semua itu butuh proses sama
kayak yang kamu bilang tadi.” Jawabku setengah berbohong. Ia hanya tersenyum
kecil seraya menggiring motor besarnya.
“Ya udah ikut gw yuk, hari ini loe kan udah janji mau......” Belum
sempat Adrian menyelesaikan ucapanya aku segera menyahut.
“Ketemu ibu kamu kan?”
“Akhirnya loe inget juga.” Tanpa banyak kata lagi aku dan Adrian
bergegas pergi meninggalkan tempat Gym menembus keramaian jalan raya.
“Owh ini yang namanya Aliya” Ibu Adrian sangat cantik, seperti
seoang ratu yang berwibawa dengan balutan jilbab warna merah muda yang tampak
lembut, sepadan dengan kulitnya yang kuning langsat. Pantaslah Adrian menjadi
cowok yang ganteng, ibunya saja awet muda. Aku merasa sangat minder di
tengah-tengah mereka. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di depan rumah mewah
yang kusebut istana ini, jantungku sudah berdetak-detak tak karuan. Aku tak
pernah membayangkan bisa masuk ke dalam rumah Adrian dan bertemu dengan ibunya.
Bak seorang putri raja yang aka dipersunting pangeran. Bagiku ini semua adalah
suatu keajaiban yang tiba-tiba terwujud.
“Senang bertemu dengan tante” Aku yang sedari tadi bungkam karena
bingung dengan apa yang seharusnya kukatakan, membalas sapaan ibu Adrian. Meski
dengan tingkah kikuk dan kaku, aku mencoba untuk tetap menunjukkan senyum
manisku.
Tante marina, itulah panggilan akrabku denganya, walau tak berapa
lama saling beradu pandang, aku dengan mudah merasa nyaman sa’at bersamanya.
Sungguh berbeda dengan Adrian, Tante Marina adalah orang yang baik dan sangat
rendah hati. Senyumnya yang teduh seakan mengingatkan pada ibu kandungku
sendiri.
“Adrian itu anak tante satu-satunya,karena itu banyak harapan besar
yang tante inginkan darinya. Sikap angkuh dan aroganya itu sangat mirip dengan
papanya, setelah kami berdua bercerai watak kerasnya semakin menjadi-jadi, jadi
tante mohon, kamu bantu Adrian untuk bisa bersikap lebih baik, teman-teman di
lingkunganya justru semakin menjerumuskanya ke hal-hal yang tidak baik”.
Pandanganya menyiratkan berbagai makna, bulatan matanya yang hitam seolah
terbaca olehku akan harapan besar yang ia embankan padaku.
“Sebisa mungkin, saya akan berusaha untuk mewujudkan keinginan
tante.” Jawabku dengan sungguh-sungguh.
“Eh, lagi ngomongin apa nih?” Tampak Adrian muncul dari belakang
seraya meminum kaleng soda, jemarinya segera meraih tanganku, seperti isyarat
bahwa aku tak seharusnya berbicara terlalu lama dengan ibunya.
“Eh, mau kemana Adrian?”Ujar tante Marina dengan cepat.
“Mau nganterin Aliya pulang, lagian Aliya pasti udah capek, iya
kan?”Katanya lagi sambil melirikku tajam.
“Eh iya tante, Aliya pulang dulu ya?” Setelah berucap
demikian, Adrian bergegas menyeretku berlalu dari ibunya menuju motor besarnya
di teras depan, setengah berlari aku mengikuti langkah panjangnya, yang tampak
penuh emosi dalam kebisuan.
“Adrian, kamu marah.” Kataku sejurus kemudian,sa’at
berada di atas motor.
“Nggak!”Balasnya singkat hampir tak terdengar.
“Maafkan aku, aku baru tahu kalau orang tuamu sudah
bercerai.”Terangku kembali dengan takut-takut.
“Seharusnya mama nggak usah cerita terlalu lebih sama
orang asing kayak loe, lebih baik loe diam aja!” Bentaknya lebih keras, seraya
mempercepat laju motor di ambang batas maksimal, menggambarkan luapan emosinya
yang kini tak tertahan. Entah apa yang ia rasakan, tapi yang jelas ia pasti
geram padaku, yang seolah membuka luka tentang hancurnya rumah tangga kedua
orang tuanya.
“Adrian!” Aku hanya bisa menjerit takut, merasakan
bahwa peganganku pada besi – besi motor itu bergetar hebat, membuat jari-jari
dan kakiku seakan lumpuh karena rasa ngeri menjalari sekujur tubuh. Mataku
terpejam, tak lagi menggubris Adrian yang berteriak – teriak kesetanan. Aku
membiarkanya melepaskan semua beban yang membelenggu jiwanya.
“Sadarlah Adrian, sadar.” Doaku dalam batin.
Hingga akhirnya motor besar yang berlari ganas itu
terdiam di suatu tempat. Ragaku seakan kaku, keringat dingin membasahi tubuh
dan pakaianku. Setengah gemetar aku turun dari motor dengan perlahan-lahan. Melihatku
seperti itu Adrian terdiam sejenak lalu dengan kedua tanganya ia memegang kedua
bahuku keras, kurasakan cengkraman itu makin keras.
“Loe kenapa? Harusnya loe pegangan sama gw tadi.
Gimana tadi kalau loe jatuh!”
“Kamu bilang aku harus selalu pegangan pada motor
kalau sedang kamu boncengin.” Jawabku pelan tanpa membalas pandanganya yang
masih lurus menatap mataku. Tiba-tiba tanpa kusadari Adrian merengkuh
tubuhku cepat. Aku dapat merasakan degup jantungnya yang berdetak kencang
seakan menahan sesuatu, perasaan amarah yang ia pendam. Dengan isak tangis
makin keras, ia mengeratkan dekapanya padaku. Aku hanya bisa mengusap lembut
punggungnya, dan berbisik pelan.
“Luapkan semua kesedihanmu Adrian. Bebaskan semuanya,
jangan ada yang kau pendam barang sedikit saja. Keluarkan semua hal yang
membuat rasa sakitmu berkurang.
“Selamat Ulang Tahun Iyan.” Hari ini ulang tahun
Adrian yang ke-20, ia diberi kejutan oleh kawan-kawan sepermainanya di sebuah
cafe.
“Eh yan, gimana kalau habis ini kita party di club,
sepuasnya, tapi loe yang bayarin ya?” Ujar salah seorang temanya yang bernama
Raka. Disambut tawa riuh kawanya yang lain.
“Oke.....oke hari ini kalian party deh sampek mabuk.”
Tawanya yang keras itu berhenti setelah ponsel dalam saku jeansnya berdering
kencang. Sebuah sms masuk dari layar hp-nya.
“Adrian, aku mohon cepet kamu ke sini, aku jatuh
keserempet motor di depan Jalan Asih Jaya, di sini lagi g’ ada orang, aku g’
bisa berdiri lagi, kakiku berdarah ” Setelah membacanya Adrian segera berlalu
dari hadapan kawan-kawanya.
“Eh loe mau kemana bro!” Cegah Raka kemudian
“Ma’af Ka tapi gw harus pergi, ini lebih penting.”
Jawabnya dengan gelisah, nampak terburu-buru menuju motor besarnya.
Setelah bertanya kesana-kemari pada orang-orang dimana
letak Jalan Asih, akhirnya ia dapati pula sebuah jalan setapak yang tak terlalu
besar, di sekelilingnya banyak pepohonan rindang. Dan sebuah bangunan dengan
papan nama bertuliskan Panti Asuhan “Asih Jaya”.
“Mana si Aliya, katanya ketabrak di sini.” Matanya
tetap berusaha mencari ke sgala penjuru.
“Hei! Adrian.” Sapaku dari balik punngungnya. Ia
nampak terkejut sekaligus geram melihat keadaanku yang aman-aman saja.
“Apa-apaan nih, katanya kaki loe g’bisa jalan, nih
malah lari-lari.”
“Kamu ternyata perhatian juga ya.” Godaku dengan tawa
manja, membuat pipinya merah menahan malu.
“Kalo emang loe g’ apa-apa lebih baik gw pergi.”
Jawabnya bergegas pergi dari tempat itu.
“Eh jangan pergi dulu dong.” Tanganku segera menahanya
“Ada apa lagi.” Katanya tak sabar dengan wajah kesal
membuang muka.
“Ikut aku sebentar aja, ada yang harus kutunjukan sama
kamu.” Meski dengan menggerutu dan bergumam g’ jelas, ia mengiyakan saja
ajakanku dengan setengah hati.
“Surprise!!!” Ruangan ini indah sekali, bertemakan
warna biru kesukaan Adrian, dan spanduk besar bertuliskan “Selamat Ulang Tahun
Kak Adrian, kami semua menyayangimu”. Anak-anak yang telah berkumpul dengan
segera menyanyikan lagu “Happy Brithday”.
Ia tertegun beberapa saat tanpa reaksi apapun, bahkan sampai
anak-anak berhenti bernyanyi, ia tetap diam seribu bahasa.
“Adrian, kamu bengong?” Aku melambaikan tangan di depan tatapan
matanya yang kosong. Usahaku berhasil ia menoleh menatapku tajam.
“Loe yang udah siapin semua ini.” Ucapnya dingin.
“G’ juga koq, adik-adik sama ibu panti juga ikut bantu” Jawabku
seceria mungkin, meski dengan perasaan khawatir dengan tanggapanya setelah ini.
“Terima Kasih Alia ” Ucapnya tertawa pelan serya mengusap rambutku
membuatnya berantakan.
“Adrian!!!! Ngagetin aja sih” Gerutuku meninju lenganya. Tanpa
menghiraukanku lagi, ia membaur dengan anak-anak panti dihadapanya yag hanya
tersenyum polos melihatnya berdiri saja sejak tadi.
“Adik-adik makasih juga ya? Kak Adrian seneng banget. Sekarang ayo
potong kuenya, kita makan sama-sama. Kakak udah laper nih.” Tingkahnya bergaya
lucu dengan mengusap perut, meskipun agak kaku tapi aku tahu ia terlihat
bahagia dengan usaha anak-anak ini.
“Kamu seneng ga’, sama hadiah dari aku, ya ma’af aku g’ bisa ngasih
kado yang mahal kayak te........” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku,
jemarinya mendarat di bibirku seolah mengisyaratkan bahwa kalimat itu tak
seharusnya ia dengar.
“Kamu tahu, ini hadiah paling indah yang pernah aku terima” Ujarnya
masih mengulum senyum.
Aku masih menatapnya heran, sambil iseng meletakkan tanganku di
dahinya.
“Apa’an sih? Emangnya gue lagi sakit.” Gerutunya dengan wajah
sewot.
“G’ juga sih tumben kamu pakek bahasa “aku kamu” segala, biasanya
juga “gw loe” “ Kataku tertawa pelan meninggalkan ia yang terlihat
senyum-senyum sendiri tengah asik dengan dunianya sendiri.
“Yeee omonganku malah g’ didengerin.” Tapi ia masih tetap sibuk
sendiri, meski akhirnya ia menoleh pelan kepadaku, masih sama dengan tatapan
tajam itu yang memaksaku berpaling pada lapangan luas berumput hijau di
depanku.
“Adrian, kamu tahu g’?” Ucapku pelan sambil memainkan
rerumputan basah di sekitar ku bersandar.
“Tau apa, gendut???” Jawabnya seraya mengacak rambutku usil.
“Males banget, kalau kamu panggil aku kayak begituan, memang bener
sih aku baru turun 8 kilo doang.” Balasku tak kalah sewot denganya yang
biasa ngambek tanpa sebab.
“8 kilo loe anggap doang, itu kemajuan pesat tau?? Sini coba gue
lihat, udah kurusan juga loe,hehehehehe” Katanya lagi lebih usil mencubiti
pipiku dengan tawa jahat seperti biasanya.
“Adrian.......stop.....stop....sakit nih!” Meski sakit... aku ikut
tersenyum geli juga melihat dia bisa tertawa lepas sekarang.
“Oke.....oke loe mau ngomong apa tadi?” Ucapnya masih memegangi
perut, jelas sekali ia masih menahan tawa di guratan wajahnya.
“Kamu tahu g’ , kamu itu lebih beruntung daripada mereka.
Dari kecil mereka, sudah hidup sendirian tanpa mengenal orang tuanya.
Bukanya aku sok menggurui kamu, tapi itulah hal yang kamu harus sadari. Orang
tuamu mungkin tidak bisa bersama-sama lagi. Dan itu adalah jalan terbaik bagi
mereka berdua. Kamu harus bisa menerimanya. Meski mereka tak saling mencintai
tapi mereka akan selalu mencintaimu sampai kapanpun. Jadi jangan mengecawakan
mereka dengan tindakan-tindakan nakal kamu Adrian.” Dengan ragu aku masih takut
melihat reaksi di wajahnya, kuberanikan diri menoleh untuk memastikan ia tak
lagi emosi, karena biasanya ia sangat membenci mengingat masa lalu orang
tuanya. Namun, yang kulihat justru sebaliknya, ia hanya terdiam dan menggumam
pelan, di sudut matanya bulir mata itu tampak, meski aku tahu ia berusaha
menahanya. Baginya pantang menangis di depan perempuan.
“Adrian kamu g’ pa pa kan?” Ujarku khawatir.
“Dulu sejak gw kecil, gw udah hafal banget dengan perilaku bokap
yang temprament. Semenjak remaja gw sering keluar dan menghabiskan hidup gw
untuk senang-senang hanya karena ingin lepas dari trauma masa lalu. Tapi tanpa
gw sadar itu mungkin membuat nyokap kecewa sama gw. Mama salah sangka, tingkah
laku gw yang menyimpang ini bukan karena gw protes mereka pisah, ini hanya
karena gw merasa gw harus melepas semua beban, yang terkadang membuat emosi gw
g’ terkendali.” Jelasnya panjang lebar sambil menyeka bulir-bulir air mata yang
tak ingin terlihat olehku.
“Banyak hal positif yang bisa kamu lakukan untuk membuatmu move on
dari trauma masa lalu, seperti mengasihi anak-anak yatim piatu yang ada di
sini, kamu lihat sendiri kan, mereka seneng banget ketemu sama kamu tadi. G’
hanya senang-senang, yang bisa membuat kamu bahagia, Adrian” Ucapku pelan,
membuatnya tersenyum pelan, senyum tulus yag baru pertama kali kulihat semenjak
aku bertemu denganya.
“Mama gw bener, loe malaikat yang menyinari hati gelap gw
“Alika Dafa Nadya”
“Apaan sih dasar lebay.” Balasku meninju lenganya keras.
“Sakit juga tonjokan loe, bener-bener bakat jadi preman nih
tangan.” Ledeknya lagi memegang otot lenganku seolah-olah aku seorang binaraga.
“Adrian, jangan bercanda teruuuuuuus......”
Sore itu aku menghabiskan waktu bersama Adrian, dengan canda dan
tawa yang slama ini dirindukan. Oleh hati dan perasaan yang terpuruk dengan
keadaan. Memang tak ada yang perlu disesali. Yang kita lakukan hanya memandang
apa yang ada di depan. Bukanya takut melangkah karena selalu menoleh ke
belakang. Kenangan buruk bukanlah memori yang pantas untuk disimpan.
Hari ke-8 menuju papan timbangan, rasanya sama seperti biasa,
sedikit gugup layaknya murid yang menanti pembagian raport, akankah nilaiku
terlampau merah hingga jarum timbangan ini tetap berada di angka yang sama.
“56, berat kamu sudah ideal Alia.”Ucap trainerku sambil mengulum
senyum puas.
“Beneran pak, usaha saya g’ sia-sia. Terima kasih atas
bantuanya ya?.” Balasku menjabat tanganya senang.
“Tapi kamu harus tetap menajaga berat badanmu agar g’ naik lagi.”
“Siap pak” Tegasku cepat dengan isyarat hormat.
“Ya sudah bapak pamit dulu, ada tamu di depan, yang harus segera
saya temui.”
“Ya pak saya di sini saja, masih nunggu Adrian.”
“Oke bapak tinggal dulu ya” Ia segera berlalu meninggalkanku di
ruang tunggu. Namun tiba-tiba datang seorang ibu-ibu setengah baya, masuk
dengan tergesa-gesa. Segera saja, setelah melihat wajahku ia tampak tersenyum
lega, dan menghampiriku perlahan.
“Non Alia????” Ucapnya sopan
“Ya saya Alia, panggil Alia saja ya bu’?”
“Non harus segera ikut saya sekarang.” Ujarnya tanpa basa-basi,
menyeret tanganku mengikutinya yang setengah berlari, menuju pintu keluar.
“Eh, bu, ini saya mau dibawa kemana?” Kataku panik.
“Sudah non tenang saja.” Balasnya singkat seraya memberhentikan
salah satu taksi dan memaksaku masuk bersamanya. Entah mengapa? Aku menurut
saja dengan ibu ini. Kelihatanya ia orang baik-baik.
“Gimana non, sekarang coba buka mata” Terdengar suara ibu-ibu yang
menyentuh bahuku pelan. Aku segera membuka mata dan mendapati sosok bayangan
cermin yang tepat berada di depanku. Seorang wanita cantik yang wajahnya
terlihat tak asing bagiku. Tunggu!! Dia mirip denganku.
“Ini aku bu’?” Kataku bengong masih tak percaya dengan apa yang
kulihat.
“Ya iyalah non siapa lagi?” Ucap bibi itu pelan seraya berlalu dari
hadapanku dan segera kembali dengan gaun indah berwarna biru di tanganya.
“Sekarang non pakek ini ya?” Ucapnya lagi dengan menyodorkan gaun
itu kepadaku.
Aku masih tak percaya dengan semua ini, aku masih tampak setengah
sadar untuk memahami semua hal yang baru saja kualami. Aku lulus dengan berat
badan ideal, didandani super cantik oleh bibi baik yang tak kukenal, dan
sekarang aku diantar sebuah mobil mewah yang entah kemana mereka akan
membawaku.
“Non, sudah sampai.” Ujar pak sopir pelan.
Aku masih saja belum turun dari mobil mengamati sekeliling.
Tiba-tiba pintu mobil terbuka, dan tebak siapa yang menjemputku saat itu.
“Adrian.” Aku kembali terkejut untuk kedua kalinya, kejutan apa lagi
ini.
“Ayo tuan putri, kamu harus ikut sama aku.” Ucapnya pelan
menuntunku keluar dari mobil. Pemandangan di luar sangat bagus, ini taman kota
yang sering kulewati saat naik bus untuk berangkat sekolah, tapi baru kali ini,
aku masuk dan melihat isi di dalamnya.
“Selamat Ulang Tahun Alia” Ia berbisik pelan di telingaku,
membuatku tersenyum kecil.
“Kamu ingat ulang tahunku, aku aja hampir lupa kalau sekarang ulang
tahun.”
“Bagaimana Adrian bisa lupa sama ulang tahun pacarnya.” Ucapnya
lirih seraya berlalu meninggalkanku yang masih sibuk dengan fikiranku sendiri
mendengar ucapan Adrian barusan.
“Adrian, tunggu..!” Seruku berlari menyusulnya yang semakin jauh,
menghilang di balik tembok bercat biru muda itu. Aku terdiam sejenak
melihat keramaian di sekitar tempat ini. Di balik tembok ini banyak berjejer
kursi putih yang ditata rapi dengan pita merah muda yang begitu manis. Ada
panggung kecil namun cantik di depan, beserta alat-alat musik lengkap yang
menghiasi.Kecil namun megah pikirku.
“Hei ngelamun aja.” Lamunanku akan kekaguman dengan tempat ini
buyar seketika, saat seorang pria yang tampak familiar menepuk bahuku.
“Ngagetin aja sih,” Ucapku kesal membuat ia tertawa geli.
“Oh aku tahu kamu, pasti suka sama desain resepsi yang aku buat ini
ya? Kamu tau g’ ini semua khusus buat kamu?” Ucapnya memandangku yang hanya
bisa diam bengong.
“Tunggu, tunggu, aku belum siap nikah, lagian kamu harus minta
restu sama Ayah Ibu aku.” Kataku panik, mengambil kesimpulan sendiri.
“Hah? Kamu kira kita yang mau nikah?Gr banget sih loe? Hehehehe” Ia
tertawa lepas, puas meledekku habis-habisan, kalau saja aku tidak memakai
sepatu high heels, mungkin aku sudah berlari pulang saking malunya.
“Ih usil banget sih, trus siapa dong yang mau kawinan.” Kataku
mengalihkan pembicaraan.
“Ini resepsinya paman gw, tapi gw yang desain semuanya. Bagus kan?
Gw tahu loe pasti suka.”
“Ya bagus sih?” Kataku pelan, mengedarkan pandangan agar ia tak
bisa melihatku yang mulai salah tingkah.
“Yaelah masih malu ya? Tuh pipinya merah.” Ia kembali terkekeh
sambil trus mencubiti pipiku yang tak lagi chubby.
“Ini bukan karena malu tapi karena sering kamu jewerin. Nih, nih
rasain.” Tak mau kalah aku membalas mencubiti pipinya lebih keras.
“Eh udah........udah sakit tau, tapi menurut gw, loe lebih baik
gendut lagi deh, pipi loe kurang chubby buat gw cubitin. Gw kan suka liat loe
tersiksa.”
“Adrian...!”Teriakku kesal mengikutinya yang lagi-lagi berlari
menghindari seranganku. Tapi...........Ups!! Aku tak sengaja menabrak seorang
pria berpakaian putih rapi.
“Ma’af, saya g’ sengaja.” Ia terlihat kaget sebentar lalu
memperhatikanku dan tersenyum seolah mengenali wajahku yang asing di tengah
keramaian ini.
“Alia ya? Wah kebetulan kamu sudah datang, jadi kamu nyanyi di
acara pernikahan om. Kata Adrian suara kamu bagus banget.” Ucapnya masih dengan
senyum keramahan.
“Nyanyi om, Ma’af tapi Adrian itu bo..........” Belum sempat aku
mengucapkan kalimat terakhir seseorang sudah berteriak dari atas panggung
memanggil namaku.
“Alia Dafa Nadya, dipersilahkan untuk menuju panggung.” Adrian
mengulurkan tanganya, mengajakku naik bersamanya. Tapi aku masih memandangnya
tajam, kuharap ia bisa mengerti bahasa kemarahan yang kusiratkan dengan kedipan
mata.
“Yaelah kenapa matanya kelilipan.” Ia malah bercanda sambil tetap
memaksaku naik ke atas panggung.
“Ayo.....Alia, jangan malu-malu.” Keramahan om Adrian memebuat
luluh juga. Awas nanti kalau acara ini udah selesai. Habis kamu sama aku!!!!
“Iii iy.yya om” Jawabku ragu sambil menuruti perintah om dan
keponakanya bernama Adrian, cowok usil super nyebelin.
Aku mendapati Adrian yang masih senyum-senyum g’ jelas sambil
melirik mik dihadapanya dan memberikanya padaku.
“Aku yang main gitar, kita nyanyi bareng.” Ucapnya kemudian seraya
mengambil gitar yang tampaknya begitu sering kulihat.
“Tunggu, ini kan gitar aku.”
“Kamu punya gitar, tapi g’ bisa main.”
“Yah, ibu aku yang beliin, kamu kira belajar main gitar itu g’
sulit, kalau g’ ada yang ngajarin.” Balasku sewot.
“Oke, kalau kamu, mau nyanyi dengan bagus hari ini, aku janji akan
ngajarin kamu main gitar, gimana?”
“Tapi aku g’ bisa nyanyi Adrian,kamu asal aja kalau nyuruh.”
Tegasku lagi, yang dimarahin malah berlalu pergi dan kembali membawa handphone.
“Gw tahu koq, keinginan loe yang belum terwujud, adalah nyanyi di
depan orang banyak, saat pensi, loe selalu tiba-tiba nangis ngelihat temen
cewek loe yang lagi nyayi acoustic. Dan rekaman di hp ini, membuktikan
kalau suara loe itu aslinya bagus. Aliaaaa” Ucapnya setengah berteriak
dihadapanku yang masih heran dengan semua pernyataan yang kenyataanya memang
benar. Dan rekaman di hp itu gimana caranya bisa ada di handphone. Itu salah
satu dari rekaman g’ jelas tentang aku yang lagi nyanyi skyscrapper-nya Demi
Lovato tanpa diiringi alat musik. Dan semua rekaman itu aku lakukan di laptop
milik.............Ya ampun aku ingat.
“Kamu dapat ini dari Sani?”
“Maybe” Jawabnya masih sibuk dengan gitarku.
Aku segera mengedarkan pandanganku ke segala arah, dan mendapati
Sani yang melambaikan tangan seolah tersenyum puas turut andil mengerjaiku
bersama Adrian.
“Udah siap.” Pandanganku ke arah Sani teralihkan oleh suara Adrian
yang mulai memainkan musik.
“Siap apanya?????” Tapi ia tetap melanjutkan permainan gitarnya
tanpa menghiraukan keluhanku. Apa boleh buat, aku mulai menikmati setiap nada
yang ia mainkan. Aku mengenal lagu ini, tanpa sadar aku mulai menyanyi membaur
dengan irama lagu a thousand years yang ia tawarkan padaku.
Heart
beat fast
Color
and promises
How
to be brave
How
can i love when i’m afraid to fall
But
watching you stand alone?
All
of my doubt
Suddenly
goes away somehow
One
step closer
I
have died everyday waiting for you
Darling
don’t be afraid.
I
have loved you for A thousand years.
Tepuk tangan itu masih menggema di telingaku. Mereka semua menyukai
penampilanku. Ini semua keajaiban bagiku. Keponakanku saja mengnggap suaraku
seperti radio rusak.
“Kamu hanya takut untuk mencoba, karena krisis percaya diri, kalau
aku belajar untuk memperbaiki sikapku, belajarlah untuk percaya pada kemampuan
diri sendiri Aliya.” Ucapnya seraya mengambil mik di hadapanku. Aku hanya
tertegun mendengar penuturanya. Benar Adrian, kamu memang benar dari dulu, aku
selalu minder dengan sgala kekuranganku, aku tak pernah bisa bebas bergaul
dengan semua orang,karena aku takut mereka tak bisa menerimakekuranganku. Aku
janji akan belajar percaya bahwa Allah menciptakan manusia dengan semua
kelebihan dan kekuranganya.
“Perhatian semuanya?” Teriakan keras Adrian di depan mic memebuat
semua orang terdiam.
“Wanita di samping saya ini, adalah teman terbaik saya beberapa
hari ini, dia yang telah menyadarkan saya bagaimana caranya menghargai hidup
sendiri, memaafkan masa lalu dan mencoba memperbaiki diri. Karena itu saya
ingiin mengucapkan terima kasih sama dia.
Eh dia hari ini lagi ulang tahun yang ke-18 loh. Kalau boleh saya
minta, para hadirin untuk menyanyikan sebuah lagu khusus buat Alia.”
“Selamat Ulang tahun......selamat ulang .........Selamat
Ulangtahun...Selamat ulang tahunya semoga panjang umur.....yeeeeee!”
“Selamat Ulang tahun ya Alia.”
“Aliya, selamat ulang tahun.”
Mereka semua mengucapkan selamat ulang tahun padaku, padahal dulu,
hanya aku ibu dan Sani yang biasanya merayakanya bersamaku.
“Dan ini buat kamu Alia” Ujar Adrian, tiba-tiba sambil mengalungkan
liontin berbentuk hati di leherku.” Aku memandangnya bahagia dengan tatapan
mengucap terima kasih, ia hanya mengangguk dan memelukku pelan. Ia berbisik
lembut di telingaku.
“Aku cinta sama kamu Aliya, kamu mau jadi pacarku?” Ia melpaskan
pelukanya dan memandangku seolah menunggu jawaban dariku. Dengan masih mengulum
senyum, aku mengangguk dan menjawab dalam hati.
“Aku mau Adrian.”
“Baiklah untuk merayakan pesta pernikahan om saya dan hari jadian
saya sama Aliya gimana kalau kita nyanyi lagi.” Ucap Adrian lantang disambut
meriah oleh para tamu undangan.
Kupejamkan
mata ini saat kurindu hadirmu
Maka
tak sedetikpun bayangmu menghilang
Begitu
hebatnya rasa yang Tuhan sedang titipkan. Padamu...padamu.....
Untukku............untukku.......
Kau
lebih dari sekedar bintang-bintang
Kau
lebih dari sekedar sang rembulan
Kupastikan
aku kan slalu ada untukmu.
Aku
tahu dulu...........kamu hanya mimpi Adrian. Mimpi yang hanya bisa hadir saat
aku terlelap dalam malam. Tapi kini, kamu benar-benar ada di sini bersamaku.
Dan aku tahu......... Hidupku akan berubah sa’at Adrian datang.